Jakarta (pilar.id) – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Hakim Agung Sudrajad Dimyati menguatkan indikasi bahwa mengurus urusan di pengadilan itu berbiaya tinggi.
“Selain ongkos perkara, fee advokat, maka harus ditambah biaya suap hakim supaya menang perkara,” kata Abdul Fickar kepada wartawan, Selasa (27/9/2022).
Menurutnya, telah terlihat indikasi lemahnya pola rekrutmen hakim agung oleh Komisi Yudisial (KY). Dia menilai, sepertinya sudah terputus pola pengawasan yang dilakukan KY terhadap hakim agung.
“Karena ternyata, KY tidah bisa membina dan mengawasi kiprah hakim agung yang telah direkrutnya, terutama yang memiliki rekam jejak kurang baik,” ujarnya.
Sebelumnya, dua hakim MA tersandung kasus dugaan suap terkait pengurusan kasasi Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Mereka adalah hakim agung Sudrajad Dimyati dan hakim yustisial atau panitera pengganti di MA Elly Tri Pangestu.
Dalam perkara tersebut, KPK juga tetapkan 8 tersangka lain. Mereka adalah Muhajir Habibie dan Desy Yustria selaku PNS Kepaniteraan Mahkamah Agung, Nuryanto Akmal dan Albasri yang merupakan PNS di MA.
Kemudian, Yosep Parera dan Eko Suparno sebagai pengacara, Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto dari pihak swasta atau Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana.
Perkara ini berawal dari OTT KPK yang dilakukan di Jakarta dan Semarang. Para pelaku diduga sedang melakukan tindak pidana suap.
Dari operasi itu, KPK mengamankan uang 205.000 dollar Singapura. Suap tersebut dibagi-bagikan ke sejumlah pihak yang terlibat. Sudrajad Dimyati disebut menerima jatah Rp800 juta. (her/hdl)