Surabaya (pilar.id) – Malam takbiran menjadi momen sakral bagi umat Islam di Indonesia, menandai kemenangan setelah sebulan berpuasa.
Tak hanya sebagai ritual ibadah, tradisi ini juga mencerminkan akulturasi Islam dengan budaya lokal yang kaya nilai sejarah.
Sejarah Panjang Tradisi Takbiran di Nusantara
Menurut Ahmad Syauqi, S.Hum., M.Si., pakar budaya Islam dari Fakultas Ilmu Budaya UNAIR, tradisi takbiran di Nusantara telah ada sejak era kesultanan Islam abad 15-18 M.
Pada masa kolonial Belanda (abad 19-20 M), takbiran tetap dilaksanakan meski dalam kondisi terbatas dan bahkan menjadi simbol perlawanan.
Kini, tradisi takbiran terus berkembang, tidak hanya dengan tabuhan bedug tetapi juga merambah dunia digital.
“Takbiran virtual melalui siaran langsung membuktikan esensinya tetap terjaga, meski bentuknya beradaptasi,” jelas Syauqi.
Ragam Tradisi Takbiran di Berbagai Daerah
Setiap daerah di Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam merayakan malam takbiran:
- Jawa: Takbir keliling dengan obor (Yogyakarta & Solo).
- Madura: Tellasan Topa’ (berjalan kaki sambil bertakbir).
- Aceh: Rateb Meuseukat (tarian sufistik).
- Minangkabau: Takbiran Bararak (pawai takbir dengan atribut tradisional).
- Bugis-Makassar: Mappadendang (tabuhan lesung sebagai wujud syukur).
“Masyarakat Nusantara sangat inklusif, merangkul budaya lokal tanpa meninggalkan nilai Islam,” ujar Syauqi.
Antara Spiritualitas dan Euforia
Di beberapa daerah, takbiran kerap berubah menjadi ajang kompetisi, seperti bedug terbesar atau pawai paling meriah. Tak jarang, petasan dan kembang api justru menggeser makna spiritualnya.
“Malam takbiran adalah momentum sakral untuk mengagungkan Allah, bukan sekadar pesta. Jangan sampai kemeriahan menghilangkan substansinya,” tegas Syauqi.
Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara tradisi dan spiritualitas agar takbiran tetap menjadi sarana syiar Islam yang bermakna. (ret/hdl)