Yogyakarta (pilar.id) – Berkunjung ke Yogyakarta belum lengkap sebelum berbelok ke Malioboro. Ya, nama yang muncul di banyak kisah dikenal sebagai salah satu kawasan ikonik dan masyhur di provinsi ini.
Di kawasan ini juga berdiri simbol-simbol kejayaan masa kolonial, yang sebagian di antaranya berdiri untuk menandingi kekuasaan dan kemegahan Keraton Yogyakarta.
Arsip dan Perpustakaan Yogyakarta mencatat, untuk menunjang tujuan tersebut selanjutnya Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Benteng Vredeburg (1765), yang sekarang menjadi sebuah museum dan terbuka untuk umum. Lalu Pasar Beringharjo sebagai pusat jual beli, dan Hotel Garuda yang dahulu digunakan tempat menginap dan berkumpul para elit kolonial.
Saksi bisu ‘kawasan tandingan’ itu kemudian berevolusi dari zaman ke zaman, hingga menjadi kawasan yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat.
Dari wisatawan domestik, musisi jalanan, tukang becak, tukang delman, penjual makanan keliling, penjual pakaian dan suvenir, tukang pijat, hingga orang-orang yang menjadikan kawasan tersebut sebagai ladang kehidupan dan kreativitas masa kini.
Di luar urusan ekonomi, Malioboro menjadi tumpuan harapan bagi pecinta literasi dan seni. Di tengah hiruk-pikuknya, sebuah perpustakaan sederhana diletakkan di dekat halte bis. Sementara itu, sejumlah warga menikmati pemutaran film nasional yang diputar gratis oleh pegiat sinema di kota yang kini ditinggali lebih dari 3 juta orang ini. (muk/hdl)