Jakarta (pilar.id) – Kasus mafia tanah dan kurator nakal terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Penipuan dengan modus perkara palsu menjadi pola umum dalam kasus ini, seperti yang diungkapkan oleh Anggota Komisi II DPR RI, Riyanta.
“Sebetulnya, tidak ada masalah dengan objek tanahnya. Namun, para mafia ini menciptakan perkara palsu. Mereka seolah-olah melakukan gugatan dengan objek yang sebenarnya tidak ada,” ujar Riyanta.
Sebagai Ketua Umum Gerakan Jalan Lurus (GJL), Riyanta mendesak kepolisian untuk serius mengusut mafia tanah karena dampaknya sangat meresahkan masyarakat. Menurutnya, negara harus lebih aktif dalam pendeteksian dini guna menjaga kewibawaan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHP.
Riyanta, yang juga merupakan politisi PDI Perjuangan, menekankan bahwa kejahatan pertanahan tidak hanya terjadi di luar Pulau Jawa, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, tetapi juga di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang. Korban kejahatan ini sebagian besar adalah masyarakat kecil, masyarakat adat, serta transmigran.
“Penyebabnya adalah kerakusan, ketamakan, dan nafsu jahat dari oknum korporasi serta pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Riyanta menegaskan, negara harus hadir untuk memberikan penyelesaian yang adil dan sesuai hukum. GJL berkomitmen membangun kekuatan sosial secara konstitusional serta bekerja sama dengan pemerintah untuk menuntaskan masalah mafia tanah ini. Sanksi pidana maksimal, termasuk penerapan pidana pencucian uang, harus dikenakan kepada para pelaku agar memberikan efek jera. (hen/hdl)