Yogyakarta (pilar.id) – Masyarakat Kalurahan Wonokromo, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta menggelar upacara adat Rebo Pungkasan atau adat Rebo Pungkasan, Selasa (20/9/2022).
Upacara Rebo Pungkasan ini diadakan satu kali dalam setahun pada hari Selasa (malam Rabu) di minggu terakhir bulan Sapar. Kata sapar atau syafar berarti bulan Arab yang ke dua, pada perkembangannya, kata syafar menjadi nama bulan Jawa yang kedua.
Sebelum upacara, rombongan yang terdiri dari 12 Dusun di Kalurahan Wonokromo melakukan kirab dari Masjid Al Huda, Karanganom menuju Balai Desa Wonokromo dengan jarak tempuh 1 kilometer.
Diiringi iring-iringan bregada, kesenian, pasukan berkuda, gunungan yang berisikan hasil bumi berupa sayur, seperti kacang panjang, wortel, dan buah-buahan, serta lemper raksasa yang panjangnya sekitar dua meter dan dibungkus daun pisang.
Lurah Kalurahan Wonokromo, Mahrus Hanafi mengatakan upacara Rebo Wekasan dapat menjadi bentuk ungkapan syukur kepada Yang Maha Esa, dan mengenang serta menghormati seorang Kyai pertama di Wonokromo, Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit yang mampu menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau tujuan-tujuan tertentu.
“Makna dari bulan Safar yang dilaksanakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar itu dari sisi waktu upacara adat ini kan awal mulanya dulu saat bulan safar banyak penyakit atau pagebluk sehingga dalam ajaran agama, di bulan Safar perlu banyak berdoa memohon kepada Allah agar diberi keselamatan, kesehatan. Makna utamanya adalah, kita di bulan Safar ini berdoalah memohon keselamatan, kesehatan, kesejahteraan dan seterusnya,” jelasnya, Selasa (22/9/2022).
Mahrus mengungkapkan upacara adat Rebo Pungkasan berawal dari masa Sultan Agung, saat itu ada semacam guru agama dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang bertempat tinggal di Pedukuhan Wonokromo I bernama Kiai Welit. Kiai Welit konon memiliki kelebihan, yakni dapat menyembuhkan segala penyakit dan memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan lainnya.
Karena kemampuannya, banyak masyarakat yang berdatangan ke kediaman kiai tersebut, dan di saat itulah Kiai Welit memberikan dakwah kepada masyarakat.
Setelah rombongan kirab sampai di Balai Desa Wonokromo, kemudian secara bersama-sama berdoa, dilanjutkan dengan proses pemotongan lemper raksasa, pembagian lemper-lemper yang kecil, serta hasil bumi gunungan kepada masyarakat.
Bupati Kabupaten Bantul, H. Abdul Halim Muslih menuturkan acara yang tidak diselenggarakan selama tiga tahun karena pandemi ini, membuat tinggi antusias masyarakat yang rindu adanya upacara ini. Tambahnya, upacara adat Rebo Pungkasan merupakan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang didalamnya termasuk adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, keterampilan atau skill.
Pantauan dilapangan, pengunjung yang hadir sangat banyak, berjubel dan ngalang berkah dengan adanya lemper agung pada Rebo Pungkasan ini.
“Jadi, ini merupakan satu tradisi yang positif yang memiliki nilai-nilai budaya yang adiluhung, sehingga kita mendukung adanya upacara adat ini. Harapannya dengan tradisi ini masyarakat Wonokromo khususnya, akan semakin menyadari pentingnya pelestarian budaya adiluhung, budaya yang bisa mendorong kita lebih produktif lebih golong gilig, lebih kompak untuk mencapai kebaikan-kebaikan dan kemaslahatan masyarakat,” katanya. (riz/din)