Siang hari jelas bukan waktu yang tepat untuk menikmati secangkir kopi. Tapi bagi pengunjung Starbucks, pagi, siang, dan malam, sejatinya cuma fragmen waktu. Dan itu tidak ada hubungannya dengan kenikmatan secangkir kopi.
Karena di gerai kopi jaringan Starbucks Corporation, perusahaan di Seattle, Washington, Amerika Serikat ini, kopi jadi komoditi yang bisa muncul dalam berbagai bentuk dan rupa. Mau panas atau dingin, mau dalam cangkir atau gelas, semua soal selera.
Dan percayalah, gagasan ini dimulai saat Starbucks Corporation menyempurnakan bisnisnya di tahun 1987, saat perusahaan ini diambil alih oleh seorang pengusaha bernama Howard Schultz.
Saat itu, Schultz melihat potensi besar dalam merek Starbucks dan mengambil alih kepemilikan perusahaan tersebut. Di bawah kepemimpinannya, Starbucks berkembang pesat dan mulai membuka cabang di seluruh Amerika Serikat dan kemudian di seluruh dunia.
Starbucks sendiri berdiri pada tahun 1971, atas inisiatif Jerry Baldwin, Zev Siegl, dan Gordon Bowker. Saat itu ketiganya dikenal sebagai pengusaha kopi. Mereka bertemu saat kuliah di Universitas San Francisco dan memiliki minat yang sama terhadap kopi.
Jerry Baldwin adalah seorang guru bahasa Inggris yang memiliki minat yang kuat dalam kopi. Ia adalah orang yang pertama kali membeli biji kopi dari Alfred Peet, seorang pemanggang kopi terkenal yang memiliki toko kopi di Berkeley, California. Baldwin kemudian membuka toko kopi kecil di Seattle bersama Siegl dan Bowker.
Zev Siegl adalah seorang mantan jurnalis dan juga memiliki minat yang besar dalam kopi. Ia bertanggung jawab untuk merancang logo Starbucks dan memilih nama perusahaan. Nama “Starbucks” sendiri berasal dari sebuah novel berjudul Moby Dick karya Herman Melville.
Sementara Gordon Bowker adalah seorang penulis dan juga memiliki minat dalam kopi. Ia bertanggung jawab untuk menyusun rencana bisnis awal untuk Starbucks dan membantu menemukan lokasi pertama toko kopi Starbucks di Pike Place Market di Seattle.
Meskipun Baldwin, Siegl, dan Bowker awalnya hanya memiliki pengalaman yang terbatas dalam bisnis kopi, mereka memiliki minat dan dedikasi yang besar terhadap industri kopi dan berhasil mengembangkan merek Starbucks menjadi salah satu merek kopi terbesar dan paling terkenal di dunia.
Memasuki tahun 1980-an, Starbucks tumbuh dengan cepat dan membuka beberapa cabang baru di Seattle. Kemudian, pada tahun 1987, perusahaan ini diambil alih oleh seorang pengusaha bernama Howard Schultz.
Konon, Schultz melihat potensi besar dalam merek Starbucks dan mengambil alih kepemilikan perusahaan tersebut. Sebelumnya, ia dikenal sebagai orang penting di perusahaan kopi asal Milan, Italia bernama Il Giornale.
Setelah mengambil alih kepemilikan Starbucks, Schultz mulai merubah strategi bisnis perusahaan dan mengembangkan jaringan toko Starbucks ke seluruh dunia. Schultz juga mengubah fokus Starbucks dari hanya menjual biji kopi menjadi toko kopi yang menyajikan berbagai jenis minuman kopi dan makanan ringan. Dalam kepemilikan Schultz, Starbucks tumbuh menjadi merek kopi terbesar dan paling terkenal di dunia.
Di tangannya, Starbucks memasuki fase baru, menjadi salah satu merek kopi terbesar di dunia dengan ribuan toko di lebih dari 80 negara.
Meskipun awalnya hanya menawarkan beberapa minuman kopi sederhana, Starbucks sekarang menawarkan berbagai macam minuman kopi, teh, dan makanan ringan serta memiliki beberapa inovasi seperti kopi beku, minuman boba, dan produk-produk lain yang berbeda dari kopi pada umumnya.
Latar belakang Schultz yang kuat di industri kopi Italia memberi pengaruh cukup signifikan dalam beberapa aspek bisnis Starbucks. Salah satu yang paling terlihat adalah menu minuman kopi yang disajikan oleh Starbucks.
Setelah mengambil alih kepemilikan Starbucks pada tahun 1987, Schultz mengubah fokus bisnis Starbucks dari hanya menjual biji kopi menjadi sebuah kedai kopi yang menyajikan berbagai jenis minuman kopi dan makanan ringan. Salah satu minuman yang diperkenalkan oleh Schultz adalah cappuccino, latte, dan espresso, yang merupakan minuman khas Italia.
Namun, cita rasa kopi yang dijual oleh Starbucks tetap berbeda dengan kopi yang biasa diminum di Italia, karena Starbucks masih menyesuaikan rasa kopi dengan selera pasar Amerika Serikat.
Meskipun demikian, Schultz berusaha untuk menjaga kualitas kopi yang disajikan oleh Starbucks dengan memperkenalkan konsep kopi spesialitas, yaitu kopi yang berasal dari biji kopi berkualitas tinggi yang diproses dengan cara yang tepat untuk menghasilkan cita rasa kopi yang unik dan berbeda.
Schultz pensiun dari jabatannya sebagai CEO pada tahun 2017 dan digantikan oleh Kevin Johnson, lelaki ulet yang memiliki latar belakang yang kuat di bidang teknologi dan bisnis. Sebelum menjadi CEO Starbucks pada tahun 2017, Johnson menjabat sebagai CEO Juniper Networks, sebuah perusahaan teknologi jaringan yang berbasis di California.
Sebelum itu, Johnson bekerja di Microsoft selama lebih dari 16 tahun, di mana ia memegang berbagai jabatan penting, termasuk sebagai Presiden Divisi Platform dan Layanan Microsoft serta sebagai Wakil Presiden Senior Microsoft.
Karir Johnson di Microsoft dimulai pada tahun 1992 ketika ia bergabung dengan perusahaan tersebut sebagai Manajer Bisnis untuk produk Microsoft Windows. Selama karirnya di Microsoft, Johnson terlibat dalam pengembangan banyak produk inovatif, termasuk Microsoft Office, Windows, dan platform Azure.
Dengan pengalaman dan keahlian di bidang teknologi dan bisnis, Johnson dipercaya untuk memimpin Starbucks dalam memperkuat posisi merek kopi terbesar di dunia dan menghadapi tantangan industri kopi modern yang semakin kompetitif.
Namun, Schultz tetap memegang peran penting dalam perusahaan sebagai Ketua Emeritus Dewan Direksi Starbucks dan masih terlibat dalam beberapa inisiatif dan program sosial Starbucks, seperti program pelatihan keterampilan bagi para pemuda dan pengembangan kopi berkelanjutan di seluruh dunia.
Ia juga terus mengingatkan pentingnya mendukung petani kopi lokal di daerah-daerah di mana mereka beroperasi. Di antaranya dengan membeli kopi sebagai bentuk etis dan pertanggungjawaban sosial pada lingkungan dengan memberikan manfaat kepada petani kopi dan komunitas di mana mereka hidup.
Dalam program ini, Starbucks bekerja sama dengan organisasi non-profit, pemerintah, dan petani kopi lokal untuk meningkatkan kualitas hidup petani kopi, membantu meningkatkan produksi kopi berkualitas tinggi, dan memastikan bahwa petani kopi menerima harga yang adil untuk produk mereka.
Selain itu, Starbucks juga mengembangkan program Starbucks Reserve, di mana mereka menyajikan kopi dari daerah-daerah tertentu yang memiliki cita rasa unik dan berkualitas tinggi. Starbucks bekerja sama dengan petani lokal untuk menemukan biji kopi yang berkualitas tinggi dan memberikan dukungan untuk meningkatkan kualitas dan jumlah produksi mereka.
Sikap ‘tradisional’ Howard Schultz kerap memicu konflik internal. Misalnya di tahun 2007, ia mengkritik kebijakan perusahaan yang memperkenalkan mesin otomatis untuk menyajikan espresso, yang dianggapnya mengurangi interaksi antara barista dan pelanggan serta mengurangi kualitas minuman kopi.
Schultz khawatir, langkah ini hanya membuat perusahaan ini kehilangan jiwa. Tak lama, ia pun memutuskan untuk mengambil alih kembali kepemimpinan Starbucks untuk mengembalikan fokus pada pengalaman pelanggan dan kualitas produk.
Tidak hanya konflik antara pimpinan perusahaan, tetapi ada juga konflik antara Starbucks dan berbagai kelompok aktivis seperti gerakan lingkungan dan gerakan buruh.
Sebagai perusahaan multinasional yang besar, Starbucks menghadapi tekanan dari berbagai kelompok untuk mengubah kebijakan mereka terkait masalah lingkungan dan hak pekerja.
Beberapa aksi protes dan boikot pernah dilakukan terhadap Starbucks, tetapi perusahaan ini juga memperkenalkan kebijakan dan program-program sosial yang bertujuan untuk memperbaiki citra perusahaan dan memenuhi harapan publik.
Apapun, sejak 1971 hingga kini, Starbucks tetap melangkah pasti. Menjadi gerai kopi modern, tapi memegang teguh sistem nilai yang oleh sebagian orang dianggap ketinggalan jaman dan menghabiskan biaya besar. “Sukses akan terasa dangkal jika kita tidak memiliki makna emosional,” kata Schultz suatu saat.