Surabaya (pilar.id) – Di masa kolonial, ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mulai mencengkeram Surabaya sebagai wilayah kekuasaannya pada tahun 1743, Kalimas jadi titik penting bagi VOC untuk mengendalikan perdagangan melalui jalur Pelabuhan Kalimas.
Saat itu, pemerintah Belanda membagi dua wilayah Kalimas menjadi Timur dan Barat. SIsi timur diperuntukkan gedung pemerintahan, bank, dan perusahaan swasta, sedangkan sisi timur, dari kawasan Pecinan sampai Ampel, dibangun sebagai sentra perdagangan.
Hingga sekarang, sisa kejayaan VOC berupa gedung perkantoran dan perdagangan bergaya kolonial masih banyak berdiri di sisi timur dan barat Kalimas.
Tentu, fungsinya tak lagi sebagai gedung atau kantor perdagangan. Bekas gedung perdagangan itu telah berubah fungsi, salah satunya sebagai rumah hunian yang disewakan oleh pemilik gedung.
Jika berkesempatan melihat-lihat di tempat ini, kita akan melihat arsitektur gedung bagian luar yang umumnya tidak berubah. Namun saat masuk ke dalam gedung, kita akan menemukan sekat-sekat yang dijadikan kamar kos, atau disewakan ke warga sekitar yang kebanyakan adalah para pekerja di Kawasan Pasar Pabean dan Ampel.
Seperti diceritakan Rohib, pria berusia 32 tahun yang bermigrasi ke Surabaya dari kota Pamekasan, Madura. Rohib mengaku, dia telah menempati sebuah gedung tua peninggalan kolonial di Jalan Kalimas Baru sejak 2017.
Ia masih ingat benar, saat itu, ia menerima informasi tentang kamar yang tersedia untuk disewa di gudang tua dari temannya bernama Ali. Ali adalah kenalannya yang sudah lebih dulu tinggal di gedung itu satu dekade sebelumnya.
“Saya sudah lama berada di Surabaya. Berada di sini sejak saya masih muda, meskipun saya tidak ingat kapan tepatnya. Saya dulu tinggal di beberapa daerah, tetapi di sini adalah yang paling nyaman,” kata Rohib.
Saat berusia 17 tahun, ia bekerja sebagai sopir mikrobus. Sayang, saat itu tidak banyak penumpang yang memanfaatkan jasa transportasinya. Lalu ia beralih profesi dan menjadi pekerja konstruksi jalan hingga kini. Saat itulah ia pindah ke gedung tua peninggalan kolonial.
“Ini tidak berisik, Bangunan itu tidak berada di depan jalan. Yang bisa masuk hanya warga. Selain itu, harganya juga murah,” ungkapnya.
Di dalam gudang, Rohib dan warga lainnya tinggal di kamar berukuran 2 kali 3 meter yang terbuat dari kayu lapis terisolasi. Bangunan ini memiliki tiga kompleks sewa, masing-masing terdiri dari 20 kamar.
Penghuni tidak diizinkan untuk mengubah apa pun, termasuk menambahkan kamar interior permanen. Hal ini untuk mengakomodir pembongkaran struktur jika ada inspeksi mendadak dari komite cagar budaya pemerintah. Meskipun itu belum terjadi dalam 15 tahun terakhir, dan penyewa mengatakan mereka merasa relatif aman dari diusir.
Selain Rohib, ada Sumiyati yang bekerja sebagai binatu dan suaminya, yang bekerja sebagai tukang becak, adalah pendatang dari Madura.
Seperti Rohib dan sebagian besar tetangga, mereka adalah kaum pendatang di Kota Surabaya dengan penghasilan rendah di bawah Upah Minumum Perkotaan (UMK).
Hidup dan tinggal di sekat sekat kamar gedung tua adalah pilihan paling logis bagi mereka. Dengan biaya sewa Rp 2 juta per tahun, ruang bersekat dalam geung kolonial itu jadi pilihan terbaik bagi mereka, daripada harus menyewa rumah dengan harga rata-rata di Kota Surabaya yang mencapai Rp 20 juta per tahun.
Bagi mereka, selama bisa menjadi tempat istirahat tanpa kepanasan dan kedinginan, sekat kamar di dalam gedung tua peninggalan kolonial adalah tempat paling aman.
Bintang Putra, kepala Alter-Shelter, sebuah kelompok yang mempelajari masalah perumahan miskin perkotaan di Surabaya, setuju tentang perubahan fungsi bangunan warisan kolonial.
“Mengingat menurunnya ketersediaan perumahan yang terjangkau di Surabaya, mengubah bangunan lama yang tidak terpakai menjadi perumahan perumahan bisa menguntungkan, selama strukturnya dirawat,” kata Putra.
Terlepas dari fungsi bangunan itu di masa lalu, penduduk pemukiman informal ini setuju. Mengapa mereka memilih untuk menempatinya, “Karena tidak punya pilihan lain”.
Dengan harga tanah yang makin melonjak, sementara orang-orang mendapat upah yang tidak mencukupi, tinggal di perumahan yang memadai dan legal tetap menjadi mimpi indah bagi mereka. (ful/hdl)