Jakarta (pilar.id) – Pakar hukum kehutanan Universitas Al Azhar Indonesia Sadino mengatakan, lahan dengan hak guna usaha (HGU) bukanlah kawasan hutan. Menurutnya, HGU harus tunduk pada Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
“Kalau HGU apa kawasan hutan? Bukan!” tegas Sadino, di Jakarta, Minggu (12/2/2023).
Menurut Sadino, definisi kawasan hutan negara dari UU Kehutanan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan tetap yang tidak dibebani hak-hak atas tanah. “Ini sesuai PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan,” katanya.
Karena itu, ia menyayangkan dakwaan jaksa yang menyebut seolah-olah lima perusahaan Duta Palma mempunyai permasalahan hukum yang sama. Padahal, dua dari lima perusahaan Duta Palma, yaitu PT Amal Kencana Tani (KAT) dan PT Banyu Bening Utama sudah memiliki hak guna usaha (HGU). Sedangkan, tiga perusahaan lainnya, yaitu PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, dan PT Seberida Subur memang belum mengantongi HGU.
“Tetapi sudah mempunyai izin lokasi (ILOK), izin usaha perkebunan (IUP), dan sudah mengikuti peraturan perundang-undangan mulai dari Peraturan Pemerintah di bidang kehutanan,” kata dia.
Dalam perkara Duta Palma Group, menurut Sadino, karena keterkaitannya dengan hutan, maka asas lex specialis systematis hukum yang harusnya digunakan ialah Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) atau dan peraturan turunannya dari Undang-Undang Kehutanan, bukan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Di sisi lain, untuk tiga perusahaan Duta Palma telah mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal tersebut dilakukan sebelum UU Cipataker maupun setelah adanya UU Ciptaker.
“Apabila mengikuti aturan UU Ciptaker, dia akan dikenakan sanksi administratif membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kalau dia sudah mengajukan, nanti akan terverifikasi, dia membayar PNBP. Itu berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Kemudian setelah mendapat invoice dari pemerintah (KLHK), dia bayar, dia langsung dapat izin pelepasan, atau surat penggunaan kawasan hutan,” papar Sadino.
Menurut Sadino, kalau pun Duta Palma dipermasalahkan, seharusnya masuk dalam ranah administratif sesuai PP 24 tahun 2021. Untuk itu, dirinya mengaku heran dengan kejaksaan yang membawa kasus seperti ini ke ranah pidana. “Dia (kejaksaan) menggunakan UU Tipikor seolah-olah undang-undang sapu jagad. Padahal, ada batasannya dia menggunakan itu. Penyidik seolah-seolah semua supaya bisa masuk, terus dimasukkan korupsi. Ini namanya kan mengada-ada juga,” ungkapnya.
Sadino memandang, perkara Duta Palma sebenarnya memperlihatkan carut-marut dalam konteks regulasi perkebunan, kehutanan, dan tata ruang yang tidak sinkron. Karena itu, lahir namanya Pasal 110A dan 110B UU Ciptaker dan Perpu 2 tahun 2022 sebagai jawaban untuk menyelesaikan persoalan kawasan hutan.
“Ini ada solusi begini, malah sekarang sudah ditabrak. Mau menggunakan apa instrumennya? Masa terus undang-undang korupsi? Siapa yang korupsi? Duitnya duit siapa?” tanya Sadino heran.
Seharusnya, kata Sadino, kejaksaan sebagai bagian dari pemerintah mengikuti produk yang dibuat Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia sendiri mengaku kaget saat mendengar tuntutan seumur hidup yang dilontarkan jaksa terhadap Surya Darmadi. Ia khawatir, tuntutan tersebut nantinya menjadi beban bagi majelis hakim.
“Sebenarnya nuansa ke sana yang saya khawatirkan. Sehingga orang-orang itu pikir, hukum kita dimainkan. Padahal adonan awalnya sudah tidak bagus. Padahal, Kasus Duta Palma ini terjadi karena kaitannya dengan tumpang tindih regulasi,” kata Sadino.
Seperti diketahui, Surya Darmadi dituntut penjara seumur hidup oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (6/2/2023). Jaksa juga membebankan Surya Darmadi untuk membayar uang pengganti atas perekonomian negara sebesar Rp73,9 triliun. Terkait kerugian negara tersebut, menurut Sadino, sebagai perusahaan swasta Duta Palma sama sekali tidak menggunakan uang negara, tetapi modal sendiri.(ach/hdl)