Jakarta (pilar.id) – Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai, pelarangan ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya mendistorsi pasar, merugikan petani dan mengganggu pemulihan ekonomi.
Board Member CIPS, Arianto Patunru menilai, kebijakan ini akan mengakibatkan banjir stok sawit domestik. Akibatnya, harga buah tandan segar akan terjun bebas dan ujungnya hal ini akan merugikan petani sawit.
“Pelarangan ini juga akan mengganggu pemulihan ekonomi. Ekspor CPO dan turunannya bisa mencapai sekitar 10 persen dari total ekspor Indonesia. Dengan pelarangan eskpor, produk domestik bruto (PDB) kita akan turun. Dengan demikian proses pemulihan ekonomi dari hantaman covid-19 akan terganggu,” kata Arianto, Sabtu (30/4/2022).
Ia juga menekankan dampak dari kebijakan ini terhadap perekonomian global. Tak lain karena Indonesia adalah ekportir utama CPO. Berkurangnya pasokan CPO telah menyebabkan kenaikan harga CPO dunia. Selanjutnya, hal ini akan menciptakan potensi adanya pengaduan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan bahkan retaliasi atau mogok massal oleh mitra dagang.
“Ujung-ujungnya, dunia dan mitra bdagang akan memberikan kesan buruk atas perilaku Indonesia dalam pergaulan internasional. Padahal, Presidensi Indonesia pada G20 adalah peluang strategis untuk mempromosikan pemulihan ekonomi global,” kata dia.
Oleh sebab itu, ekonom Australian National University (ANU) ini menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini. Menurut dia, jika tujuannya mengendalikan harga minyak goreng, kebijakan yang mungkin lebih efektif adalah pajak ekspor untuk RBD palm olein.
Ia menyebut, pengenaan pajak ekspor lebih baik daripada domestic market obligation (DMO). Apalagi pelarangan ekspor secara total, karena memunculkan pemasukan buat negara. Sementara DMO susah diawasi, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Namun, jika memang harus menerapkan DMO, perlu transparansi dan pengawasan yang ketat.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan segala aspek secara seksama dalam mengeluarkan kebijakan. Kesimpangsiuran kebijakan CPO ini mengurangi kepercayaan masyarakat atas kemampuan pemerintah mengambil keputusan publik.
“Kesimpangsiuran juga memunculkan ketidakpastian yang berdampak pada persepsi atas iklim investasi di Indonesia,” tegasnya. (her/din)