Jakarta (pilar.id) – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengumumkan bahwa La Nina telah berakhir pada bulan Februari 2023 berdasarkan data pengamatan suhu muka laut di Samudra Pasifik.
Selama Maret-April 2023, fenomena ENSO (El Nino – Southern Oscillation) berada dalam fase Netral, yang menunjukkan tidak adanya gangguan iklim dari Samudra Pasifik.
Dengan peluang lebih dari 70 persen, diprediksi bahwa ENSO Netral akan beralih menjadi fase El Nino pada bulan Juni 2023 dan berlangsung dengan intensitas lemah hingga moderat.
Sementara itu, fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) yang merupakan gangguan iklim dari Samudra Hindia, saat ini juga berada dalam fase Netral dan diprediksi akan beralih menjadi fase IOD Positif mulai bulan Juni hingga Oktober 2023.
Potensi Dampak bagi Iklim Indonesia
Kombinasi dari El Nino dan IOD positif yang diprediksi akan terjadi pada paruh kedua tahun 2023 dapat berdampak pada berkurangnya curah hujan di beberapa wilayah Indonesia selama Musim Kemarau 2023. Bahkan, sebagian wilayah diprediksi akan mengalami curah hujan di bawah normal (lebih kering) dibandingkan dengan kondisi normalnya.
Analisis Kondisi Cuaca di Indonesia
Terlihat adanya kombinasi gelombang ekuator seperti MJO (Madden-Julian Oscillation), gelombang tipe Low Frequency, gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby Ekuator di beberapa wilayah di sekitar Samudra Hindia barat Sumatra bagian utara, Aceh, Selat Malaka, Laut China Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, Papua, dan Laut Arafura pada periode yang sama.
Selain itu, terpantau adanya Bibit Siklon Tropis 91S di Samudra Hindia sebelah barat Bengkulu dan Bibit Siklon Tropis 91B di Samudra Hindia sebelah barat laut Aceh yang dapat meningkatkan curah hujan di pesisir barat Sumatera.
Juga terdapat sirkulasi siklonik di Selat Makassar dan Samudra Pasifik utara Papua yang membentuk daerah perlambatan kecepatan angin (konvergensi) dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Selat Makassar hingga Kalimantan Selatan, serta dari Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara hingga Samudra Pasifik Timur Filipina.
Kondisi ini dapat meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar bibit siklon tropis, di sekitar sirkulasi siklonik, dan di sepanjang daerah konvergensi/konfluensi, serta di sepanjang wilayah yang terdapat gelombang ekuator, yaitu di Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Perkembangan Musim Kemarau 2023
Hingga akhir April 2023, perbincangan publik dan media banyak membahas gelombang panas di Asia yang dikaitkan dengan suhu panas musim kemarau di Indonesia dan potensi fenomena iklim El Nino.
Berdasarkan pemantauan BMKG terhadap 699 Zona Musim (ZOM) di seluruh wilayah Indonesia, 9 persen (65 ZOM) telah memasuki periode musim kemarau, sementara 75 persen wilayah ZOM lainnya (521 ZOM) masih mengalami musim hujan.
Beberapa wilayah yang saat ini mengalami musim kemarau antara lain Aceh bagian timur, Sumatera Utara bagian timur, Riau bagian selatan, sebagian kecil Nusa Tenggara, Gorontalo bagian selatan, Sulawesi Tengah bagian timur, Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara bagian selatan, sebagian Kepulauan Maluku, dan sebagian Maluku Utara.
Diperkirakan bahwa 22 persen wilayah lainnya akan memasuki musim kemarau pada bulan Mei, dan 22% berikutnya pada bulan Juni. Sementara itu, sejumlah 16% (113 ZOM) merupakan wilayah yang mengalami musim hujan atau musim kemarau sepanjang tahun (bertipe satu musim).
Pada masa transisi musim, baik wilayah yang telah memasuki musim kemarau maupun yang belum, masih mungkin mendapatkan hujan dalam skala harian hingga mingguan dipengaruhi oleh variabilitas iklim sub-musiman seperti MJO, Rossby, dan Kelvin yang memiliki siklus perulangan 30-90 hari, selain faktor lokal seperti suhu permukaan laut yang masih hangat dan ketersediaan uap air di atmosfer.
Kondisi Hujan di Indonesia pada Musim Kemarau
Kondisi hujan bulanan pada periode bulan Juni hingga Oktober 2023 umumnya bervariasi tergantung lokasi dan waktu.
Dibandingkan dengan kondisi normal (rata-rata 30 tahun), curah hujan pada periode tersebut umumnya normal atau di bawah normal (lebih kering) dibandingkan rata-ratanya.
Wilayah yang diprediksi mengalami curah hujan di bawah normal pada bulan Juni 2023 meliputi sebagian Aceh, sebagian Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Barat, sebagian Sulawesi Tenggara, sebagian Sulawesi Tengah, sebagian Maluku, sebagian Papua Barat, dan sebagian Papua.
Untuk bulan Juli, Agustus, dan September (JAS) 2023, yang merupakan periode puncak musim kemarau, peluang terjadinya curah hujan di bawah normal masih berlanjut terutama di wilayah Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali, sebagian NTB, sebagian NTT, sebagian besar Kalimantan kecuali Kalimantan Utara, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, sebagian Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, sebagian Maluku, sebagian Papua Barat, dan sebagian Papua.
Hasil Kesepakatan National Climate Expert Forum (NCEF)
Informasi ini didasarkan pada hasil kesepakatan yang dicapai dalam kegiatan National Climate Expert Forum (NCEF) pada tanggal 8 Mei 2023.
Dalam forum ini, dibahas prospek El Nino 2023 dan perkembangan musim kemarau 2023. Kegiatan tersebut diinisiasi dan diselenggarakan oleh BMKG dan melibatkan diskusi dan konsolidasi para pakar iklim tingkat nasional, termasuk pakar iklim dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Rekomendasi BMKG
Menyikapi potensi terjadinya El Nino pada semester kedua tahun 2023, BMKG merekomendasikan beberapa langkah aksi dan antisipasi dini untuk mengurangi dampaknya, antara lain:
- Mengurangi risiko bencana seperti kekeringan, kekurangan air bersih, dan gagal panen yang dapat memicu ketidakstabilan pangan di sebagian wilayah Indonesia.
- Mengantisipasi potensi kebakaran hutan dan lahan, terutama di wilayah atau provinsi yang rentan dan sering terjadi kebakaran.
- Perlu adanya antisipasi terkait produksi pangan untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
Dengan mengambil langkah-langkah tersebut, diharapkan dampak dari potensi El Nino dan musim kemarau dapat diminimalisir sehingga masyarakat dapat menghadapinya dengan lebih baik. (ret/hdl)