Jakarta (pilar.id) – Pemerintah optimistis dapat menurunkan angka kemiskinan pada 2022 hingga ke level sebelum pra pandemi Covid-19, yakni 9,2 persen.
Hal itu didasari oleh keyakinan pemerintah yang menilai penanganan pandemi di Indonesia termasuk dalam kategori sangat baik.
“Angka kemiskinan pada 2021 sebesar 9,7 persen. Nah ini hampir menuju angka pra pandemi. Dan kita yakin di 2022 ini kita harusnya sudah bisa kembali ke level pra pandeminya di 9,2 persen,” kata Kepala Badan Kebijakan Fskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, di Jakarta, Jumat (8/4/2022).
Dia menjelaskan angka kemiskinan pada 2019 memang sebesar 9,2 persen, kemudian setelah ada pandemi angkanya meningkat cukup signifikan pada 2020, yakni sebesar 10,2 persen. Pada tahun 2021 angkanya secara perlahan mulai turun menjadi 9,7 persen.
Sementara itu, dari sisi ketimpangan juga sudah mulai hampir mendekati pra pandemi. Pemerintah mencatat, tingkat ketimpangan pada 2019 sebesar 0,380, kemudian menjadi 0,385 pada 2020, dan kembali turun pada 2021 menjadi 0,381.
“Jadi tahun ini kita harus lanjutkan program PEN (pemulihan ekonomi nasional), kita lindungi masyarakat miskin dan rentan. Kemiskinan harus membaik,” ujarnya.
Dari sisi pengangguran, angkanya juga sempat naik kala pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Berdasarkan statistik, angka pengangguran pada 2019 sebesar 5,23 persen atau 7,10 juta orang, kemudian pada 2020 sebesar 7,07 persen atau 9,77 juta orang. Sedangkan pada 2021 angkanya sudah mulai menunjukkan perbaikan, yakni sebesar 6,48 persen atau 9,10 juta orang.
“Lapangan kerja baru yang tercipta periode 2020-2021 hanya 2,6 juta. Sehingga angkanya turun 0,58 persen atau 0,67 juta orang. Dan pada 2022 pertumbuhan ekonomi kita akan sangat kuat, dan kita akan turunkan lagi angka pengangguran hingga 5,23 persen,” kata Febrio.
Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan, munculnya krisis Ukraina memberi dampak tersendiri bagi proses pemulihan ekonomi secara glonal. Menurutnya, yang akan berdampak ke semua negara dari adanya konflik Ukraina adalah dari jalur perdagangan.
Meskipun nilai perdagangan Ukraina hanya tiga persen terhadap global, namun jika melihat dampak tidak langsung, akan meluas. Hal ini, tentu akan mempengaruhi outlook International Monetary Fund (IMF) yang akan diumumkan dua pekan ke depan.
“IMF merevisi pertumbuhan ekonomi global dari 4,4 persen ke arah bawah, mungkin di bawah 4 persen. Ekspor yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi kita dalam beberapa kuartal terakhir ini akan menjadi tantangan dari sisi permintaannya,” kata Budi. (ach/din)