Jakarta (pilar.id) – Penggiat kajian hukum tata negara, M Ridwan menilai, mekanisme pemberhentikan Fadel Muhammad dan memilih Tamsil Linrung sebagai Wakil Ketua MPR yang baru, sudah sesuai Undang Undang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD), Tatib DPD, dan Tatib MPR.
Karena itu, Pimpinan MPR harus mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan segera menetapkan Tamsil sebagai Wakil ketua MPR yang baru dari unsur DPD.
“Melihat seluruh mekanisme yang sudah dilalui oleh DPD dalam memberhentikan Fadel Muhammad dan memilih Tamsil Linrung sebagai Wakil Ketua MPR yang baru, itu sudah sesuai UU MD3, Tatib DPD, dan Tatib MPR,” kata Ridwan, di Jakarta, Minggu (18/9/2022).
Sebelumnya, Koordinator Tim Hukum Fadel, Dahlan Pido meminta pimpinan MPR tidak terburu-buru mengambil keputusan atas permintaan pergantian wakil ketua MPR dari unsur DPD. Dahlan berdalih, ada dua pimpinan DPD yang menarik dukungan terhadap surat keputusan (SK) pemberhentian Fadel, yaitu Sultan Baktiar Najamudin dan Nono Sampono.
Selain itu, Dahlan juga masih menunggu hasil gugatan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan Bareskrim Polri. Menurut Ridwan, pernyataan Dahlan tersebut sangat keliru dan tidak berdasar.
“Bahkan bisa menjerumuskan pimpinan MPR untuk melanggar aturan hukum yang berlaku,” kata Ridwan.
Pimpinan MPR, lanjut Ridwan, seharusnya segera melantik wakil ketua MPR yang baru. Karena kelompok DPD telah menyampaikan surat penggantian pimpinan MPR dari unsur DPD sejak 5 September 2022 lalu.
Selain itu, berdasarkan Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tatib MPR Pasal 29 Ayat 3 menyebutkan, semestinya pimpinan MPR sudah bisa mengambil keputusan untuk menetapkan wakil ketua MPR tanpa menunggu 30 hari. Di sisi lain, tidak ada satu klausul pasal manapun di UU MD 3 dan Tatib MPR yang menjelaskan bahwa pimpinan MPR bisa menunda pelantikan pimpinan MPR yang baru karena adanya upaya hukum.
“Jika tidak ditindaklanjuti, pimpinan MPR bisa dianggap melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik itu UU MD3 ataupun Tatib MPR,” jelas Ridwan.
Menurut Ridwan, pimpinan MPR seharusnya tidak perlu terpengaruh dengan segala upaya yang dilakukan oleh kubu Fadel yang meminta tidak terburu-buru atau menunda pelantikan. Sebab, mekanisme penggantian pimpinan MPR unsur DPD sudah diatur secara terang benderang di dalam UU MD 3 dan Tatib MPR.
Lebih jauh Ridwan menjelaskan, dalam Pasal 17 UU MD3 menyatakan bahwa pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Selanjutnya dalam Pasal 19 UU MD3 berbunyi, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang Tata Tertib.
Kemudian, Pasal 29 ayat (1) huruf e Peraturan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR menyebutkan, pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena diusulkan penggantian oleh fraksi atau kelompok DPD. “Kalau melihat alur mekanisme pemberhentian Fadel yang pernah disampaikan oleh Sekretariat Jenderal DPD, menurut saya juga sudah sesuai dengan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tatib DPD,” sambung Ridwan.
Untuk diketahui, pada awalnya mosi tidak percaya kepada Fadel hanya ditandatangani 84 anggota DPD. Kemudian, pada 18 Agustus 2022, anggota DPD yang menandatangani surat mosi tidak percaya bertambah menjadi 97 anggota.
Selanjutnya, sidang paripurna ke-2 yang digelar 18 Agustus 2022, memutuskan Fadel tidak lagi menjabat sebagai Wakil Ketua MPR dari unsur DPD. Saat itu, DPD juga melakukan proses pemilihan wakil ketua MPR yang baru.
“Melihat proses pemberhentian wakil ketua MPR unsur DPD dan juga proses pemilihan calon wakil ketua MPR unsur DPD yang baru di sidang paripurna bisa dikatakan sah dan konstitusional,” ujar Ridwan.
Menurut Ridwan, meskipun dua pimpinan DPD belakangan mencabut tanda tangannya terkait pemberhentian Fadel, hal itu tidak mempengaruhi legalitas hasil keputusan sidang paripurna. Apalagi, sidang paripurna itu berlangsung secara kuorum atau dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota DPD.
Selain itu, pernyataan Dahlan yang mengungkit soal mosi tidak percaya yang dianggap tidak dikenal dalam sistem ketatanegaran di Indonesia tidak perlu diperdebatkan karena hanya soal istilah saja. Bisa saja, kata Ridwan, diksi tersebut menggunakan istilah lain seperti penarikan dukungan atau mandat, namun substansinya tetap sama yaitu, aspirasi anggota DPD yang tidak puas.
“Kalau aspirasi ataupun suara-suara mayoritas anggota DPD dipersoalkan ataupun digugat itu salah alamat. Hal itu sama halnya sebagai bentuk pengebirian akan tugas-tugas konstitusional yang dimiliki anggota DPD,” kata dia. (ach/fat)