Jakarta (pilar.id) – Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat mengatakan, dengan kekuasaan yang dimiliki Presiden Joko Widodo (Jokowi), semestinya bisa menginstruksikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk produksi minyak goreng. Sehingga negara bisa mempunyai stok untuk mengendalikan harga.
Menurut Achmad, kebijakan ini memang akan mengganggu produsen minyak goreng yang sudah ada. Tapi, kata dia, kebijakan tersebut adalah langkah yang tepat karena selain negara dapat mengendalikan harga, negara juga akan mendapatkan pendapatan yang bisa digunakan untuk membiayai program kerja pemerintah.
“Jadi surplus yang didapatkan tahun lalu dari sektor minyak kelapa sawit tidak hanya dinikmati oleh swasta, tapi negara pun akan mendapatkan pemasukan selain dari pajak yang dikenakan kepada produsen CPO,” kata Achmad, di Jakarta, Sabtu (9/4/2022).
Jika pemerintah mempunyai keinginan yang kuat untuk mensejahterakan masyarakat, maka ini bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Dengan anggaran senilai bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng tentunya dapat membiayai pembangunan dan modal kerja BUMN yang khusus memproduksi CPO dari hulu sampai hilir.
Ketua Pusat Studi Ekonomi Politik UPN Veteran Jakarta ini mempertanyakan, sampai kapan pemerintah akan memberikan BLT kepada masyarakat. Sebab, tidak akan pernah ada yang tahu berapa tingkat harga CPO ke depan, sehingga dikhawatirkan harga minyak goreng semakin tidak terkendali.
Apalagi, lanjut Achmad, konsumsi minyak goreng berbahan sawit ini digunakan oleh hampir seluruh keluarga usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang posisinya sangat sulit untuk digantikan oleh minyak goreng jenis lain karena harganya jauh lebih mahal. Ia pun heran, minyak goreng tidak termasuk bahan pangan yang menjadi tanggung jawab Badan Pangan Nasional merujuk Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2021.
“Padahal jika dimasukkan secara spesifik agar terpisah dari CPO untuk penggunaan industri maka pengendalian harga minyak goreng ini akan lebih mudah untuk dilakukan,” kata dia. (ach/din)