Jakarta (pilar.id) – Pemerintah dan DPR berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam waktu dekat. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) serta 18 LBH Kantor menilai bahwa RKUHP saat ini masih disusun berdasarkan paradigma hukum yang menindas serta diskriminatif.
Ketua Umum YLBHI, M Isnur mengatakan, apabila masih dipaksakan, paradigma hukum yang demikian akan memunculkan satu masalah besar, yakni ancaman over-kriminalisasi kepada rakyat. Simpulan tersebut tercermin dari muatan-muatan pasal anti demokrasi yang masih dipaksakan.
“Persoalan serius yang menjadi sorotan utama adalah RKUHP dapat menjadi instrumen yang mengancam demokrasi dan kebebasan sipil,” kata M Isnur dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/11/2022).
Adapun, pasal-pasal yang menjadi sorotan ialah mengenai ancaman pidana terhadap penghinaan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218 sampai Pasal 220), pasal penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 349 sampai Pasal 351).
Selain itu ada pasal mengenai pencemaran nama baik, hingga pasal ancaman pidana kepada penyelenggaraan aksi demonstrasi yang tidak didahului dengan pemberitahuan (Pasal 256).
“Pasal-pasal tersebut berpotensi digunakan secara serampangan, mengingat rendahnya etika pejabat negara saat ini. Terutama, karena lebih sering memprioritaskan kepentingan oligarki, ketimbang kepentingan publik,” tutur dia.
Kata dia, pemaksaan pasal-pasal anti demokrasi tersebut bertentangan dengan tujuan politik-hukum pemidanaan yang ditetapkan.
Sementara, pemerintah dan DPR beragumentasi bahwa RKUHP hadir untuk mendekolonialisasi KUHP yang merupakan warisan kolonial. Namun, hal demikian terbantahkan dengan sendirinya karena sifat kolonial justru berasal dari pasal-pasal yang anti demokrasi dan masih diakomodir oleh penguasa.
“Maka jauh panggang dari api, sah kita menyebut RKUHP sebagai produk hukum yang justru linear dengan politik-hukum pemerintahan kolonial di masa lampau. Alih-alih mendekolonialisasi, RKUHP justru merekolonialisasi politik hukum pemidanaan Indonesia,” papar dia.
Isnur juga beranggapan, produk RKUHP terlihat diskriminatif karena subjek pengaturan pidana hanya ditujukan kepada rakyat dengan segala ketentuan batasan dan larangan-larangannya.
“Oleh karena itu, ancaman over-kriminalisasi yang terkandung dalam RKUHP menyebabkan #SemuaBisaKena,” tukasnya.
Berangkat dari uraian diatas, YLBHI dan 18 LBH Kantor mendesak kepada Presiden dan DPR RI untuk:
1. Menunda pengesahan RKUHP hingga tidak ada lagi pasal-pasal bermasalah yang diakomodir di dalamnya;
2. Menghapus pasal-pasal anti demokrasi dalam RKUHP;
3. Memastikan proses pembahasan yang transparan dan partisipatif; dan
4. Mendengarkan dan menerima masukan, aspirasi dan kritik dari masyarakat sipil. (her/din)