Surabaya (pilar.id) – Kepopuleran Jalan Tunjungan sebagai tempat ‘cuci mata’ di Surabaya sudah jamak di era 1970-an. Setidaknya, penanda zaman keemasan kawasan ini tertuang dalam sebuah lagu karya Is Haryanto yang sangat dikenal hingga kini.
Lagu legendaris ‘Rek Ayo Rek’, yang dipopulerkan Mus Mulyadi, penyanyi keroncong kelahiran Surabaya di masa pendudukan Jepang ini menggambarkan Jalan Tunjungan sebagai tempat jalan-jalan warga kota di akhir pekan.
Setengah abad lebih kemudian, kawasan Jalan Tunjungan masih menjadi magnet bagi warga kota Surabaya maupun wisatawan domestik. Untuk sekadar jalan-jalan, kongkow, lalu menikmati kopi susu atau boba yang jadi penanda zaman kuliner masa kini.
Kisah heroik dan glamour Jalan Tunjungan sebagai salah satu titik sejarah perang kemerdekaan dan pusat perdagangan kelas menengah atas memang makin redup. Berevolusi menjadi deretan kedai-kedai makan dan minuman masa kini.
Handa Moekti, 55 tahun, warga asli Jalan Tunjungan 1, mengatakan, saat remaja kawasan Tunjungan dan sekitarnya kurang lebih mirip dengan penggambaran dalam lagu ‘Rek Ayo Rek’ yang dirilis di era 1970-an.
“Saat remaja, saya melihat toko-toko penjual tas dan sepatu mahal masih ada. Persis di seberang Hotel Majapahit kalau sekarang,” kisah Handa.
Soal makanan juga demikian, banyak penjual makanan di sekitar Jalan Tunjungan. “Kalau malam, kami tinggal duduk di dekat rumah, penjual tahu campur paling enak pasti akan lewat,” imbuh Handa Moekti, alumni Universitas Gajah Mada dan pengajar kursus Bahasa Inggris rumahan ini.
Kini, sebagian besar properti, terutama di ruas Jalan Tunjungan memang berangsur menjadi kawasan komersial. Sejumlah rumah bertanda ‘Dijual’ masih terlihat hingga kini.
Namun, di balik gemerlap komersial Jalan Tunjungan, kampung-kampung lama seperti Kampung Ketandan dan Tunjungan Gang 1 masih berdenyut hingga sekarang. Persolan zaman, seperti merangseknya gedung-gedung yang perlahan mengepung kampung mewarnai perjalanan kampung di dekat Jalan Tunjungan.
“Kami masih yakin kampung Tunjungan Gang 1 ini akan bertahan sampai nanti, meski ada investor yang siap mencaplok kampung kami dengan rencana komersial mereka,” tutur Handa.
Handa Moekti, dan warga asli kampung Jalan Tunjungan dan Kampung Ketandan, Surabaya. memang berangsur berkurang. Makin banyak warga pendatang yang menyewa rumah dari warga asli.Dua kampung di balik gemerlap Jalan Tunjungan ini seperti berpacu dengan waktu. Bertahan dengan nilai-nilai sosial di kampung atau perlahan redup ditelan zaman. (mis, hdl)