Jakarta (pilar.id) – Sri Lanka mengalami kebangkrutan setelah mengalami kesulitan ekonomi yang berujung kesulitan membeli bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan warganya. Namun, bagaimana dengan kondisi Indonesia, apakah bisa bangkrut seperti Sri Lanka?
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky menilai, apa yang menimpa Sri Lanka sepertinya sangat jauh terjadi di Indonesia.
“Saya rasa sangat jauh ini (Sri Lanka bangkrut) terjadi di Indonesia,” kata Riefky kepada Pilar.id, Kamis (23/6/2022).
Menurut Riefky, ada dua alasan mengapa ia menyatakan demikian. Pertama, meningkatnya harga komoditas justru menjadi kabar baik untuk Indonesia. Anggaran yang dimiliki negara akan surplus.
Ia mencontohkan, tingginya harga komoditas seperti batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), membuat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Indonesia mengalami peningkatan penerimaan yang sangat besar.
Lalu yang kedua dari sisi inflasi. Menurutnya, Indonesia memiliki manajemen inflasi yang haik dibandingkan negara lain. Di saat inflasi di negara-negara lain sudah mencapai 8 persen ke atas, inflasi di Indonesia belum mencapai 4 persen.
“Jadi saya rasa ini (bangkrut) tidak akan terjadi di Indonesia. Jadi tidak perlu melakukan apapun, karena yang sudah dilakukan saat ini sudah sangat baik,” kata dia.
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengatakan, negara yang dia pimpin tidak mampu membeli berbagai kebutuhan pokok seperti impor minyak dan berbagai komoditas lainnya. Kekurangan makanan, bahan bakar, dan listrik terjadi selama berbulan-bulan.
Terlebih, kredit dari negara tetangga seperti India, kini tidak lagi mampu menopang ekonomi negara berpenduduk 22 juta orang itu.
“Kami sekarang menghadapi situasi yang jauh lebih serius di luar kekurangan bahan bakar, gas, listrik dan makanan,” kata dia di hadapan parlemen, dikutip dari Sky News.
“Ekonomi kita telah benar-benar runtuh, itu adalah masalah paling serius sebelum kita hari ini,” kata dia menegaskan bahwa Sri lanka bangkrut.
Dalam kesempatan yang sama, Wickremesinghe mengungkapkan, perusahaan minyak milik negara yakni Ceylon Petroleum Corporation memiliki utang 700 juta dolar AS.
“Akibatnya, tidak ada negara atau organisasi di dunia yang bersedia menyediakan bahan bakar kepada kami. Mereka bahkan enggan menyediakan bahan bakar untuk uang tunai,” kata dia,
Sri Lanka saat ini terus berjuang dengan beban utang yang luar biasa. Beban ini ditambah dampak pandemi virus corona, termasuk hilangnya pendapatan pariwisata dan meningkatnya biaya komoditas. (her/din)