Jakarta (pilar.id) – Pemikiran tentang Islam dan konsep perilaku beragama yang penuh kebijaksanaan menjadi fokus perbincangan dalam acara bedah buku berjudul ‘Imajinasi Islam: 70 Tahun Komaruddin Hidayat’.
Profesor Didik J. Rachbini, membuka acara dengan sambutannya di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina pada Selasa (7/11/2023). Acara tersebut dipandu oleh Dr. M. Subhi Ibrahim dan merupakan hasil kerjasama antara Universitas Paramadina, Bank Syariah Indonesia (BSI), Paramadina Center for Religion and Philosophy (PCRP), serta Paramadina Graduate School of Islamic Studies (PGSI).
Prof. Komaruddin Hidayat, penulis buku yang menjadi pusat perhatian, mengungkapkan pandangannya tentang peradaban, imajinasi, dan agama.
Menurutnya, peradaban dimulai dari imajinasi, dan imajinasi itu melampaui bahasa. Dalam kata-katanya, “Kelebihan dari Nabi Muhammad adalah nabi yang paling terang benderang, sama halnya dengan agama Islam. Agama merupakan bagian dari peradaban, ketika berbicara agama dipengaruhi oleh mindset, sedangkan mindset kita dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Kekuatan manusia bukan terletak pada dirinya, tapi pada kerjasamanya.”
Rani Anggraeni Dewi, MA, Inisiator Gerakan Indonesia Bahagia, melihat Prof. Komaruddin Hidayat sebagai seorang profesor yang relevan dengan zaman saat ini.
Dia mengapresiasi buku-buku Komaruddin Hidayat yang menggunakan pendekatan psikologi, bahasa yang mudah dipahami, dan universal, sehingga dapat diakses oleh berbagai kalangan. Rani berbicara tentang buku-buku tersebut sebagai sarana untuk mengatasi depresi dan memandang kematian sebagai bagian dari perjalanan menuju kebahagiaan.
Dalam konteks buku Imajinasi Islam, Dr. Reza Wattimena, pendiri Rumah Filsafat, memuji pendekatan rasional, kritis, komprehensif, dan emansipatoris yang digunakan dalam buku ini.
Menurutnya, imajinasi Islam yang diusung oleh Komaruddin Hidayat berfungsi sebagai sumber pencerahan dan pembebasan.
Reza membagi pandangannya tentang dua tipe agama, yaitu agama kehidupan dan agama kematian. Dia mengkritik agama kematian yang cenderung memaksa, intoleran, dan berpotensi memicu kekerasan dan terorisme. Sebaliknya, agama kehidupan dilihat sebagai agama yang menawarkan kebebasan, kebijaksanaan, dan kebahagiaan.
Dr. Rossalina Wulandari, Co-Founder GlobaNastra, membahas topik krisis identitas dan cara mengatasinya. Dia mengamati adanya peningkatan konservatisme agama yang bisa mengarah pada intoleransi. Rossalina menjelaskan bahwa sikap intoleransi beragama seringkali muncul sebagai reaksi terhadap ketidakpastian, kehilangan makna, dan tekanan psikologis. Intoleransi beragama, menurutnya, mencerminkan sikap diskriminatif dan merendahkan orang lain yang memiliki pandangan berbeda.
Dalam kesimpulan, acara bedah buku ini menjadi platform untuk mendiskusikan konsep-konsep penting tentang Islam, imajinasi, kebahagiaan, dan agama. Diskusi yang berfokus pada pemikiran cemerlang Prof. Komaruddin Hidayat mendorong pertimbangan mendalam tentang bagaimana kita dapat mencapai pemahaman yang lebih baik tentang agama dan masyarakat secara keseluruhan, serta menjaga kerukunan dan toleransi. (mad/hdl)