Jakarta (pilar.id) – Ketika DPR menyetujui mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.
Kabar ini langsung mendapat respons istimewa dari warga, termasuk mereka yang aktif di media sosial.
Aktris film dan presenter Annisa Putri Ayudya mengatakan, merayakan pengesahan RUU TPKS adalah hal yang wajar. Mengingat rancangan ini telah diperjuangkan selama 10 tahun.
Perasaan suka cita atas disahkannya rancangan undang-undang tersebut juga merupakan sebuah kepedulian terhadap korban dan bukan sebuah glorifikasi.
“Promosi dan publikasi UU TPKS ini sesungguhnya perlu dilakukan. Hampir saja bisa jadi glorifikasi bila hanya sorak-sorai saja. Namun kenyataannya awareness terhadap pelaku dan korban, memang menuntut ‘perayaan’ ini,” ujarnya, Jumat (22/4/2022).
“Ini adalah sebuah sikap hukum yang sudah kita perjuangkan sejak 10 tahun terakhir dan bukan isu prematur, bahkan bertambah urgensinya. Saya merasa saat ini adalah pengukuhan momentum, bukan glorifikasi,” lanjutnya.
Pemain film Yowis Ben ini, mengungkapkan bahwa disahkannya RUU TPKS merupakan sebuah bukti bahwa negara peduli pada masalah kekerasan seksual dan berani mengambil sikap.
Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengimplementasikan agar sesuai dengan peraturan yang dibuat.
UU TPKS terdiri dari 8 BAB dan 93 pasal. Dalam proses penyusunannya, DPR dan pemerintah melibatkan 120 kelompok masyarakat sipil.
Undang-undang ini memasukkan sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual dan perbudakan seksual.
Jika dibandingkan dengan usulan awal, terdapat dua poin yang dihapus yaitu pemerkosaan dan aborsi.
Pelecehan seksual fisik dan non-fisik bisa terjadi di mana dan kapan saja, bahkan di lingkungan keluarga, institusi pendidikan hingga tempat kerja.
Sebelum adanya UU TPKS, masalah pelecehan seksual ini kerap diabaikan jika terdapat pengaduan. Bahkan pada ranah tertentu seperti industri hiburan, pelecehan dianggap sebagai hal yang normal.
“Bagi kami para aktor yang dituntut untuk berani terbuka dan menjadi rapuh (being vulnerable) selama shooting kami harus pandai-pandai menjaga batasan. Kita semua juga bekerja bersama dalam waktu yang lama. Bisa jadi kita luput untuk menjaga emosi dan sikap,” jelas Putri.
Dengan adanya UU TPKS, ekosistem dunia hiburan mulai melakukan pembenahan dan membuat batasan-batasan agar seluruh pekerja yang terlibat merasa aman dan nyaman.
“Saat ini peraturan-peraturan yang sudah mulai dipasang tentang kekerasan seksual dan respect conduct di lokasi shooting tidak sekedar mengingatkan atau peraturan lokal dari PH tapi mempunyai konsekuensi nyata secara hukum,” kata perempuan kelahiran 20 Oktober 1976 itu. (hdl/ant)