Jakarta (pilar.id) – Yayasan Sativa Nusantara (YSN) mengutuk adanya dugaan kerja paksa dengan dalih rehabilitasi di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-angin. Model rehab paksa seperti ini bisa dikatakan tindak pidana.
“Rehab paksa salah pidana, setidak-tidaknya terkait dengan Pasal 333 KUHP, Pasal 2 UU TPPO, dan UU Ketenagakerjaan,” kata Direktur Eksekutif YSN, Dhira Narayana, Rabu (26/1/2022).
Dhira berharap, Polri mau mengusut kasus ini lebih jauh bukan justru menjustifikasi insiden ini. Pihaknya menghargai respon cepat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan berharap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga Ombudsman mau masuk untuk memberikan evaluasi lebih luas.
Sekian itu, Dhira meminta agar Badan Narkotika Nasional (BNN), yang diajak Polri untuk memeriksa kasus ini, juga patut memeriksa BNNK setempat yang diberitakan sempat datang ke tempat rehabilitasi ini. Apa yang terjadi sehingga tempat ini bisa terus beroperasi.
“Korban dari kejadian ini harus mendapatkan keadilan. Selain mengusut kasus korupsinya,” cetusnya.
Di sisi lain, ia berharap agar Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Sosial (Kemensos), Polri, dan BNN harus mengawasi lebih ketat rehabilitasi yang berada di bawah administrasinya.
Kata dia, setelah beberapa waktu lalu ada laporan Ombudsman dan media tentang beberapa temuan rehabilitasi bermasalah dan ditambah adanya kasus ini, harus ada upaya lebih agar hal-hal seperti ini tidak lagi terulang.
Rehabilitasi seharusnya menjadi tempat seseorang dibekali agar kembali pulih dan bermasyarakat. Negara harus memastikan tujuan itulah yang terjadi, bukannya pemerasan, penyiksaan, atau perbudakan.
Terpenting, pembuatan kebijakan narkotika ke depan, entah itu melalui RKUHP atau revisi UU Narkotika, harus mengedepankan dekriminalisasi dan penghapusan rehabilitasi wajib/paksa.
“Pun rehabilitasi masih didorong sebagai bagian dari intervensi pidana, sebaiknya hadir sebagai rekomendasi dan memuat opsi perawatan yang lebih luas,” pungkasnya. (her/din)