Tanimbar (pilar.id) – Permasalahan kelistrikan di Tanimbar dan wilayah Maluku secara umum, telah menjadi tantangan panjang. Meskipun telah melewati 78 tahun masa kemerdekaan, sejumlah desa di Maluku dan Tanimbar masih belum terlayani oleh listrik pemerintah.
Pada tahun 2016, tingkat elektrifikasi di Maluku baru mencapai sekitar 60 persen, tetapi hari ini kita tengah menuju angka 93 persen. Dengan pengoperasian 37 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) tambahan, angka ini bisa mencapai 96 persen.
“Perjuangan ini bukanlah hal yang mudah,” kata Mercy Barends, Anggota Komisi VII DPR RI, ketika meresmikan PLTD di Desa Makatian, Kecamatan Wermaktian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, pada Senin (7/8/2023).
“Berkaitan dengan keadilan energi, yang ada di ujung Jakarta harus setara dengan yang ada di ujung-ujung Tanimbar,” tambahnya dengan harapan.
Barends juga menyoroti bahwa ketidaksetaraan energi terjadi, dimana di beberapa wilayah seperti Sumatera dan Kalimantan terdapat pasokan energi berlebih, sementara di kawasan Timur Indonesia yang termasuk dalam kategori Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), masih banyak yang belum mendapatkan pasokan listrik. “Selama 78 tahun, kami belum melihat listrik di wilayah ini, dan ini menjadi hal yang sangat ironis bagi saya,” ungkapnya.
Menurut Barends, salah satu kebutuhan mendesak bagi masyarakat di pelosok Tanimbar dan Maluku adalah pasokan listrik. Ia mengilustrasikan bahwa saat ia berkunjung ke Tanimbar, hampir semua masyarakat menyampaikan keluhan terkait listrik.
“Setiap kali saya kunjungi Molu Maru atau Yaru, warga mengeluhkan satu hal yang sama: listrik. Mereka bertanya, mengapa sampai hari ini mesin listrik belum datang padahal tiang dan jaringan listrik sudah terpasang?” ujar wanita yang merupakan lulusan Universitas Pattimura Ambon ini.
Barends juga mengingatkan tentang surat edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2017, yang mencanangkan moratorium pembelian satuan pembangkit diesel (SPD). Hal ini didasarkan pada transisi energi dari sumber fosil ke energi hijau yang lebih bersih, seperti energi gas.
Hal ini mengakibatkan penundaan dalam pengadaan fasilitas kelistrikan sejak tahun 2017.
Pada tahun 2016, dari 1.241 desa di Maluku, sekitar 800 desa telah mendapatkan akses listrik, sementara 400 desa lainnya belum. Namun, melalui perjuangan yang bertahap, peringkat elektrifikasi tersebut mengalami peningkatan. Hingga awal tahun 2020, moratorium dicabut dan Kementerian ESDM menyetujui rencana pencabutan tersebut, yang kemudian melibatkan berbagai diskusi terkait proyek-proyek listrik di desa-desa.
“Moratorium dicabut, pintu relaksasi dibuka. Kami memberikan peluang ini untuk Maluku dan Maluku Utara, dimana 97 unit PLTD akan diselesaikan,” kata Barends.
Dari total 97 unit PLTD tersebut, 54 unit akan dibangun di Maluku dan sisanya di Maluku Utara. Rencananya, 37 unit PLTD akan diresmikan sebelum tanggal 17 Agustus dan sisanya setelah tanggal tersebut. Pada tanggal 17 Agustus 2023, akan dilakukan penyalaan serentak.
Namun, Barends menyoroti bahwa pelaksanaan proyek ini menghadapi kendala, seperti jumlah personil yang terbatas. Oleh karena itu, upacara peresmian akan difokuskan di Pulau Molu Maru pada tanggal 17 Agustus.
Ketika berbicara mengenai penganggaran dan proses pengadaan, Barends menegaskan bahwa tujuan utamanya adalah keberlanjutan pulau-pulau kecil ini. “Saya ingin menegaskan, saya bukan hanya sekedar berbicara, saya hanya memiliki satu proyek: mencintai pulau-pulau kecil. Jika seluruh pulau ini memiliki listrik, maka elektrifikasi Indonesia Raya bisa mencapai 100 persen,” tegasnya.
Sementara itu, dalam tahap awal, durasi penyalaan PLTD yang baru diresmikan akan berlangsung selama 6 jam, dan akan ditingkatkan menjadi 12 jam setelah tanggal 17 Agustus, kemudian akan terus ditingkatkan hingga mencapai 24 jam. (mad/hdl)