Jakarta (pilar.id) – Keberadaan ASEAN sebagai organisasi regional, tampaknya sedang dalam perdebatan yang intens terutama dalam mengatasi isu-isu konflik di Myanmar dan tantangan lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Poin-poin tersebut disampaikan oleh Dr. Priyambudi Sulistiyanto, Senior Advisor Southeast Asia Flinders International, dalam diskusi publik bertajuk “Dinamika Politik Myanmar dan Masa Depan Demokratisasi & Regionalisme Asia Tenggara” yang digelar di Auditorium Firmanzah Universitas Paramadina pada Sabtu (7/10/2023).
Priyambudi mengamati bahwa ASEAN, sebagai organisasi regional, telah menciptakan harapan yang besar bagi negara-negara anggotanya dalam menangani masalah kawasan, khususnya konflik di Myanmar.
Ia mengungkapkan bahwa Asia Tenggara telah memulai sistem politik koalisi di Muangthai yang kemudian berkembang menuju politik koalisi. Namun, perlawanan gerakan mahasiswa di Burma, yang dipimpin oleh Aung San untuk memperjuangkan kemerdekaan, dihentikan oleh pasukan militer pada tahun 1988.
Lebih lanjut, Priyambudi mencatat bahwa pembentukan ASEAN awalnya didasarkan pada pendekatan Top-Down, di mana kawasan Asia Tenggara dipersepsikan sebagai zona netral yang bertujuan untuk pengembangan ekonomi regional.
Namun, ASEAN dianggap kurang tanggap terhadap perubahan demokrasi yang berasal dari basis, seperti yang terlihat dalam situasi Myanmar, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Menurut Priyambudi, telah terjadi persimpangan geopolitik antara Asia, Indonesia, dan Australia, yang menjadikan kawasan ini sebagai arena persaingan antara Major, Middle, dan Emerging Power. Geopolitik diartikan sebagai pertemuan lintasan dua benua dan dua samudera di Asia Tenggara.
Dia juga menggarisbawahi peran strategis Singapura yang telah berkembang sebagai ekonomi yang sangat penting, berkat posisi geografisnya yang strategis sebagai simpul jalur laut dan udara regional.
Priyambudi menganggap Indonesia memiliki potensi serupa dengan Singapura berkat posisinya yang strategis secara geopolitik. Kawasan timur Indonesia, khususnya, memiliki potensi strategis dalam perdagangan global melalui Selat Makassar, yang perlu ditingkatkan agar dapat memberikan manfaat maksimal.
Priyambudi juga mengamati perkembangan bahasa dalam ASEAN, dengan bahasa-bahasa dari negara-negara anggota diajarkan di negara-negara lain. Bahasa Indonesia, sebagai contoh, mulai diajarkan di Vietnam, sementara bahasa Tagalog, Muangthai, dan Melayu juga diajarkan di beberapa negara anggota ASEAN. Ini merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat identitas regional melalui hubungan antarwarga yang menjadi kunci dalam mengatasi masalah-masalah di Asia Tenggara.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Ahmad Khoirul Umam, Ph.D., Priyambudi menjelaskan bahwa pemahaman tentang Geopolitik dan Regionalisme di Asia Tenggara dapat ditarik kembali ke era kolonial dan pascakolonial yang membagi-bagi masyarakat ASEAN. Namun, masyarakat ASEAN telah menyadari pentingnya bersatu dan tidak menjadi boneka Kekuatan Besar. ASEAN, yang memiliki populasi besar dan beragam, telah mengalami pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya, dan inovasi teknologi baru selama periode “Abad Asia.”
Priyambudi mengingatkan tentang wilayah-wilayah rawan di Asia Tenggara, termasuk Laut Tiongkok Selatan, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Indonesia. ASEAN kemudian menjadi tempat pertemuan kepentingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Sementara itu, Myanmar, sebagai anggota ASEAN, masih belum mampu menyelesaikan konflik internalnya antara militer, pemerintahan sipil, etnis minoritas, dan masalah Rohingya.
Untuk menjaga stabilitas politik dan ekonomi di Asia Tenggara, Priyambudi menyarankan ASEAN untuk berkonsultasi dengan PBB, Tiongkok, Rusia, Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan Uni Eropa guna membahas Rencana Lima Poin yang mencakup konflik domestik, krisis pengungsi, konflik regional, dan peran Troika serta ASEAN. Priyambudi menyimpulkan bahwa ASEAN telah menjadi organisasi kawasan yang memiliki peran signifikan dalam mengatasi berbagai tantangan di kawasan ini.
“Setidaknya ada tiga skenario yang dapat diterapkan pada anggota ASEAN. Pertama, pemilihan umum yang diawasi oleh ASEAN dan PBB untuk semua negara anggota, dengan hasil pemilu yang dianggap sah. Kedua, pemulihan keanggotaan Myanmar setelah terbentuknya pemerintahan demokratis. Ketiga, reformasi ASEAN Charter dan pembentukan Dewan Keamanan ASEAN yang setara dengan ASEAN Summit,” pungkasnya. (hdl)