Jakarta (pilar.id) – Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pencabutan larangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) bukti bahwa kebijakan pengendalian harga minyak goreng lewat setop ekspor total seluruh produk CPO adalah kesalahan fatal.
Harga minyak goreng di level masyarakat masih tinggi, petani sawit dirugikan dengan harga yang tandan buah segar (TBS) anjlok karena kelebihan pasokan CPO di dalam negeri. Bhima juga mengatakan, Indonesia kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp6 triliun atas pelarangan ekspor CPO. Belum ditambah dengan tekanan pada sektor logistik perkapalan yang berkaitan dengan aktivitas ekspor CPO.
“Kehilangan devisa sudah terlanjut cukup tinggi imbas pelarangan ekspor CPO, yang memengaruhi stabilitas sektor keuangan. Pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS dipasar spot sebesar 3 persen dalam sebulan terakhir salah satunya disumbang dari pelarangan ekspor,” kata Bhima, Jumat (20/5/2022).
Menurut dia, kerusakan tambahan imbas pelarangan ekspor CPO sudah dirasakan ke berbagai sektor ekonomi. Bhima berharap, kebijakan berbagai komoditas kedepannya tidak meniru pelarangan ekspor CPO yang tidak memiliki kajian matang. Cukup terakhir kalinya kebijakan proteksionisme yang eksesif seperti ini.
Saat ini, perlu menatap ke depan pasca-ekspor CPO dibuka, bagaimana pemerintah bisa kendalikan harga minyak goreng yang acuannya adalah mekanisme pasar. Pengusaha yang mengacu pada harga di pasar internasional dikhawatirkan akan menaikkan harga minyak goreng secara signifikan, khususnya minyak goreng kemasan.
“Selama aturan minyak goreng boleh mengacu pada mekanisme pasar maka harga yang saat ini rata-rata Rp24.500 per liter di pasar tradisional bisa meningkat lebih tinggi,” ujarnya.
Kata dia, ada tiga solusi yang sebaiknya dilakukan segera oleh pemerintah setelah pencabutan larangan ekspor kali ini. Pertama, tugaskan Perum Bulog dan beri kewenangan untuk ambil alih setidaknya 40 persen dari total distribusi minyak goreng.
Selama ini, mekanisme pasar gagal mengatur marjin yang dinikmati para distributor minyak goreng. Bulog nantinya membeli dari produsen minyak goreng dengan harga wajar dan melakukan operasi pasar atau menjual sampai ke pasar tradisional.
Kedua, hapus kebijakan subsidi ke minyak goreng curah dan ganti dengan minyak goreng kemasan sederhana. Pengawasan minyak goreng kemasan jauh lebih mudah dibanding curah. Ketiga, jika masalahnya adalah sisi pasokan bahan baku di dalam negeri, maka program biodisel harus mengalah. Target biodisel harus segera direvisi dan difokuskan dulu untuk penuhi kebutuhan minyak goreng.
“Tentu tiga kebijakan ini butuh penyegaran pejabat pelaksana, salah satunya melalui reshuffle menteri yang selama ini gagal menyelesaikan masalah minyak goreng,” tegas Bhima. (her/hdl)