Yogyakarta (pilar.id) – Barisan perbukitan dan hamparan ladang padi terpancang di sisi barat ketika hendak memasuki Desa Panjangrejo, Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Di desa inilah Suyamti, perempuan senja yang menggantungkan hidup dari kepalan tanah liat, tinggal dan bertahan hidup. Di usia 61 tahun, ia masih piawai mengubah gumpalan tanah basah untuk dijadikan sebuah gerabah.
Pagi itu di teras samping rumahnya, Suyamti tengah duduk menghadap sebongkah tanah liat yang siap untuk dijadikan sebuah gerabah. Dengan menggenggam sebuah kain bekas, jemarinya cekatan memoles dinding-dinding gerabah hingga permukaannya menjadi halus. Sedang jari kakinya, tangkas memutar piringan alas gerabah secara perlahan.
Gerabah-gerabah yang sudah Suyamti buat kemudian dibakar terlebih dahulu sebelum dijual. Ia biasa melakukan pembakaran gerabah 2 hingga 3 kali dalam sebulan. Ratusan gerabah disusun rapi di atas perapian, lantas dibakar dalam waktu dua jam. Biasanya, ia dibantu dua orang anaknya ketika hendak membakar gerabah.
Beragam jenis gerabah kini sudah pernah Suyamti buat, mulai dari tungku, cobek, pot bunga, hingga kuali. Harganya bervariasi, gerabah setinggi 30 centimeter biasa dihargai Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. Sedang kuali yang tingginya hampir satu meter, dihargai Rp 200 ribu.
Saat pandemi Covid-19 menghambat roda perekonomian banyak pelaku usaha, pesanan gerabah Suyamti justru meningkat pesat. Gerabah-gerabah tersebut banyak dipesan guna memenuhi kebutuhan wadah mencuci tangan di sejumlah lokasi. Di tengah kondisi serba sulit, ia sedikit merasa lebih beruntung berkat banyak pesanan yang datang.
“Jadinya ya susah, ya bungah (senang). Karena laku, tapi susahnya kok ada penyakit,” ujar Suyamti.
Suyamti mulai menggeluti pekerjaan ini sejak 40 tahun yang lalu. Ia mewarisi pekerjaan tersebut dari sang ibu, Mardiwiyono. Di balik pembuatan kerajinan gerabah, sosok perempuan memang memiliki peran yang penting. Proses produksi gerabah hampir sepenuhnya dikerjaan oleh perempuan. Perempuan dinilai lebih teliti untuk membuat gerabah yang memiliki tingkat kerumitan tinggi.
Namun kini Suyamti terancam menjadi generasi terakhir perajin gerabah dari keluarganya. Kedua anak laki-lakinya memilih jalan hidupnya masing-masing. Meski begitu anak-anak Suyamti masih datang sesekali untuk membantunya.
Ketika ditanya tentang kelangsungan kerajinan gerabah yang sudah dirintis sejak puluhan tahun lalu tersebut, ia hanya pasrah. “Aku ndak punya anak perempuan, jadinya ya selesai. Udah gak ada yang bikin lagi kalau saya sudah tua,” tutupnya. (fir/hdl)