DJakarta (Pilar.id) – Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 di kisaran 4,5-5,3 persen. BI bahkan memprediksi pertumbuhan akan terus menguat, hingga mencapai 4,7-5,5 persen pada 2024.
“Tentunya didukung oleh konsumsi swasta, investasi, dan tetap positifnya kinerja ekspor di tengah pertumbuhan ekonomi global yang melambat,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo, di Jakarta (30/11/2022).
Perry mengatakan, Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) diperkirakan menurun dan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024. Menurutnya, inflasi inti akan kembali lebih awal pada paruh pertama 2023, seiring dengan tetap terkendalinya inflasi harga impor (imported inflation) dan nilai tukar rupiah yang stabil.
“Dan respons kebijakan moneter yang front loaded, pre-emptive, dan forward looking,” kata dia.
Perry mengatakan, koordinasi kebijakan yang erat dengan pemerintah pusat dan daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) dan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) berkontribusi kuat pada terkendalinya inflasi. Sinergi dan inovasi merupakan kunci dari prospek kinerja ekonomi Indonesia pada 2023 dan 2024 yang akan melanjutkan ketahanan dan kebangkitan ekonomi.
Sementara itu, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berpesan, ke depan kondisi global masih tidak pasti dan sulit untuk diprediksi. Karena itu, dalam melakukan perumusan kebijakan, sinergi fiskal dan moneter perlu terus diperkuat agar kebijakan ekonomi nasional yang dihasilkan memberikan manfaat yang besar bagi rakyat dan negara dalam memperkuat ketahanan dan kebangkitan ekonomi nasional.
“Pada tahun 2023 betul-betul kita harus hati-hati dan waspada tanpa mengurangi optimisme,” kata Jokowi
Jokowi menambahkan, optimisme terhadap pemulihan ekonomi perlu terus diperkuat dengan tetap mewaspadai rambatan dari ketidakpastian global, termasuk risiko stagflasi (perlambatan ekonomi dan inflasi tinggi) dan resflasi (resesi ekonomi dan inflasi tinggi). Hal ini mengingat risiko koreksi pertumbuhan ekonomi dunia dapat terjadi apabila tingginya fragmentasi politik dan ekonomi terus berlanjut, serta pengetatan kebijakan moneter memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu menurunkan inflasi di masing-masing negara. (ach/din)