Jakarta (pilar.id) – Perteumbuhan Ekonomi Indonesia tahun 2022 lalu mengalami peningkatan sebesar 5,3 persen. Namun, Ekonom senior, Rizal Ramli menyatakan bahwa kondisi ekonomi di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Alasannya, menurut Rizal Ramli, pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang mencapai 5,3 persen tersebut, hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Rakyat kecil, menurut Rizal Ramli, tak bisa ikut menikmati dampak dari pertumbuhan ekonomi tersebut.
“Rakyat bawah hidupnya susah banget, dengan harga-harga naik. Pertumbuhan ekonomi 5,3 persen hanya dinikmati para kapitalis yang gede-gede. Rakyat kecil tak menikmati pertumbuhan sepersen pun,” kata Rizal, di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Padahal, lanjut dia, para pendiri bangsa ini telah meletakkan dasar ekonomi berada di antara penganut liberalisme dan komunisme. Paham tersebut sebagai jalan tengah yang termaktub dalam UUD 1945, yaitu ekonomi dalam bingkai kesejahteraan rakyat.
“Desain negara adalah kesejahteraan,” ucapnya.
Negara kesejahteraan itu, kata Rizal, pada prinsipnya kekayaan alam dimiliki rakyat dan dikuasai negara. Sebagai pelaksana bisa diserahkan ke swasta dan tidak memilikinya, sehingga rakyat jelas mendapat manfaat langsung dari SDA tersebut.
“Ini seperti Zaman Pak Harto, tahun era 70-80 silam, 85 persen laba sumber daya alam (SDA) minyak disetor ke pemerintah. Dan asing dikasih 15 persen saja sudah sangat senang,” jelasnya.
Namun, menurut Rizal, sekarang yang terjadi adalah SDA telah dikuasai swasta, sehingga memberikan keuntungan bagi perusahaan atau pribadi, rakyat tidak lagi mendapatkan manfaatnya. “Ini sudah pengkhianatan terhadap UUD 1945. Ini semua karena pemerintah mengabdi pada oligarki,” tegasnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dan perbankan Yanuar Rizki menambahkan, kebijakan keuangan Indonesia saat ini menuju ke kiblat moneterianisme, yakni individualisme, liberalisme dan materialisme. “Propagandanya begitu gencar,” kata Yanuar.
Sementara dari sisi peredaran mata uang rupiah sendiri, lanjut Yanuar, terlihat nyata dikendalikan asing. Pergerakan uang oleh masyarakat relatif kecil, dan sebaliknya peredaran korporasi melonjak.
“Yaa bagaimana, kita bisa mandiri kalau rupiah itu sendiri juga dikendalikan oleh asing. Nah bagaimana kalau SUN ini diganggu juga, melalui nilai tukar rupiah. Siapa ini yang kuat menahannya. Kalau dihajar oligarki, bakal keok juga,” katanya. (ach/fat)