Jakarta (pilar.id) – Edisi ke-34 Kajian Etika dan Peradaban mengangkat tema Otoritarianisme dan Kebebasan dalam Pembangunan di Negara-Negara Muslim.
Diskusi ini menghadirkan Luthfi Assyaukanie, Ph.D., akademisi Universitas Paramadina, dan Dr. Sunaryo, bertempat di Hotel Ambhara.
Luthfi Assyaukanie menyampaikan pandangan menarik mengenai kebangkitan China sebagai alternatif dari peradaban Barat.
Meski China memiliki sejarah panjang sebagai peradaban yang terorganisir, ia menilai model otoritarianisme negara tersebut masih menjadi perdebatan.
Mengutip teori John Mearsheimer, Luthfi menjelaskan bahwa negara otoriter sering tampak kuat di luar, namun memiliki kelemahan struktural di dalam.
Selain itu, ia mengapresiasi pemikiran ekonom Keyu Jin, yang mengkaji hubungan Timur dan Barat. Dengan latar belakangnya sebagai anak mantan Perdana Menteri China dan anggota Partai Komunis China, Keyu membawa perspektif unik tentang perang dagang dan kebangkitan China di kancah global.
Keterbukaan Ekonomi dalam Pembangunan Berkelanjutan
Luthfi juga menyoroti pentingnya keterbukaan ekonomi bagi negara-negara Muslim. Ia mencontohkan strategi pembangunan nasional seperti Vision 2030 Arab Saudi, Indonesia Emas 2045, dan Continental 2071 Uni Emirat Arab.
Menurutnya, visi pembangunan yang terarah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dr. Sunaryo memperkaya diskusi dengan pandangan filosofis dari Amartya Sen dan Soedjatmoko. Dalam buku Development as Freedom (1999), Amartya Sen menjelaskan bahwa pembangunan harus memperluas kapabilitas individu untuk hidup dengan nilai.
Sementara Soedjatmoko melalui Development and Freedom (1984) menekankan pentingnya demokrasi dan kebebasan sebagai elemen utama pembangunan.
Sunaryo menekankan bahwa partisipasi masyarakat adalah kunci pembangunan berkelanjutan. Pendidikan, menurutnya, memiliki peran penting dalam meningkatkan kapasitas manusia untuk berpikir kritis dan menentukan arah pembangunan.
Ia juga menyerukan sinergi antara negara dan masyarakat sipil untuk menciptakan pembangunan yang menghormati keragaman nilai serta menghindari jebakan budaya dehumanisasi seperti feodalisme.
Menurut Sunaryo, pendidikan harus menjadi prioritas dalam pembangunan. Pendidikan tidak hanya meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga memanusiakan manusia melalui pengembangan kapasitas berpikir dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat.
Diskusi ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana negara-negara Muslim dapat mengelola pembangunan dengan keseimbangan antara kebebasan dan efektivitas pemerintahan. (usm/hdl)