Surabaya (pilar.id) – Data PBB 2019, sebanyak 2,2 miliar manusia membutuhkan akses air bersih untuk keperluan hidup sehari-hari, terutama untuk kebutuhan minum.
Namun, pada kenyataanya, ketersediaan air bersih saat ini semakin langka karena sumber air bersih banyak tercemari aktivitas manusia. Seperti limbah industri dan rumah tangga, terutama sampah plastik.
Sungai Brantas, sebagai sungai terbesar yang melewati 12 kota di Jawa Timur, tak luput dari pencemaran dari limbah rumah tangga dan industri.
Sepanjang 2021-2022, Tim Peneliti Ecoton bersama sejumlah mahasiswa dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dan Universitas Islam Negeri Maulanan Malik Ibrahim Malang, melakukan pengambilan uji kualitas air di sejumlah titik sungai Brantas di kota Jombang, Mojokerto, Kediri, Gresik, Surabaya dan Malang.
Pengambilan sampel air ini kemudian di bawa ke laboratorium Ecoton, di Gresik untuk di teliti tingkat pencemarannya, termasuk kandungan mikroplastik yang menjadi isu besar saat ini.
Mikroplastik adalah sampah plastik dengan ukuran kurang dari 5 mm yang bisa bersumber dari limbah cair industri kosmetik atau pakaian sintetis serta fragmentasi sampah plastik yang ada di lingkungan akibat pelapukan dan biofouling.
Karena ukuranya yang kecil, mikroplastik memiliki resiko bahaya lebih tinggi dari makroplastik karena dapat terakumulasi dalam tubuh organisme.
Berasal dari sampah plastik yang memiliki sifat tidak mudah terurai sehingga dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu mikroplastik primer dan mikroplastik sekunder.
Partikel mikroplastik terdeteksi hampir sebesar 85 persen di perairan seluruh dunia. Salah satu wilayah yang memiliki potensi terkontaminasi adanya mikroplastik disepanjang aliran sungai Brantas.
Sampel yang di uji adalah sampel air dan biota sungai berupa ikan di sejumlah kota yang dilintasi aliran sungai Brantas. Sampel air juga di kumpulkan dari sejumlah wilayah pesisir di Jawa Timur.
Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan jaring yang ditampung kedalam sebuah wadah. Volume air yang disaring sebanyak 100 liter air, dengan asumsi, 100 liter air akan cukup untuk menangkap partikel partikel yang terkandung didalam air sungai.
Kemudian sampel air masing masing lokasi di sungai Brantas yang telah disaring dimasukkan kedalam botol sampel dan dan diberi kertas label untuk di uji di laboratorium.
Tahap selanjutnya ,para mahasiswa peneliti muda ini akan mengidentifikasi sampel yang telah dikumpulkan menggunakan mikroskop binokuler.
Hasil identifikasi sampel air, menunjukkan bahwa ditemukan mikroplastik di semua sampel yang dikumpulkan. Di Bumiaji, kota Batu, ditemukan 10 mikroplastik dalam per 100 liter air, di Sengkaling 19 mikroplastik per 100 liter air dan Klojen 15 mikroplastik per 100 liter air.
“Mikroplastik jenis fiber paling banyak mencemari Sungai Brantas,” kata peneliti ekologi akuatik Enviromental Green Society Mohammad Alaika Rahmatullah.
Identifikasi mikroplastik tidak hanya ditemukan pada sampel air saja, Ziadatur Rizqiah, peneliti dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, juga mengidentifikasi mikroplastik pada feses manusia, sampel dikumpulkan dari 20 warga yang tinggal di bantaran Kali Surabaya. “Semua terkontaminasi,” katanya.
Rizkia mengajak masyarakat turut berpartisipasi mengurangi penggunaan kemasan plastik sekali pakai. Produsen juga wajib tanggungjawab terhadap sampah produk mereka.
“Masyarakat harus turut bertanggungjawab memilah dan mengolah sampah dari rumah,” katanya.
Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) menemukan sejumlah fakta bahwa mikroplastik sangat mengancam biota laut dan sungai.
Ironisnya, biota air yang mengandung mikroplastik merupakan makanan yang kerap dikonsumsi manusia. Diperlukan regulasi soal larangan plastik sekali pakai guna menyelamatkan biota air dari paparan mikroplastik.
Direktur Ecoton, Prigi Arisandi menjelaskan bahwa penelitian terkait mikroplastik mengungkapkan fakta jika di dalam biota air tepatnya di wilayah pesisir utara Pulau Jawa Timur mulai dari Kabupaten Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo, mengandung mikroplastik.
Sampah plastik di perairan mengakibatkan biota laut terkontaminasi mikroplastik. Padahal biota sungai dan laut seperti kerang, ikan, teripang, udang dan kupang (siput laut) kerap dikonsumsi manusia. (ful/hdl)