Jakarta (pilar.id) – Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto mengatakan, demokrasi di era Jokowi mengalami kemunduran yang sangat serius. Salah satu cirinya adalah, demokrasi di rezim Jokowi tidak memperdulikan suara dari publik.
Menurut dia, pemerintah hanya mendengarkan suara elit oligarki yang memiliki modal ekonomi politik besar. Tujuan mereka cuma satu, yaitu mempertahankan kekayaan dan kekuasaan bahkan melipatgandakannya.
Di sisi lain, Presiden Jokowi harus tegas dan benar-benar serius dalam menanggapi kemunduran demokrasi belakangan ini yang semakin menjadi-jadi. Jokowi harus tegas apabila ada aparat penegak hukum yang berbuat semaunya dan mengedepankan kekerasan ketika berhadapan dengan rakyat.
Misalnya dalam kasus di Wadas, menurut Wijayanto, presiden harus mencari tahu kebenaran di lapangan. Tak sampai di situ, presiden harus menghukum jika ada aparat kepolisian yang bersikap sewenang-wenang.
“Kalau presiden serius, harus dimulai dengan adanya hukuman kepada mereka atau aparat yang salah dalam kasus Wadas,” kata Wijayanto, Selasa (15/2/2022).
Namun berdasarkan fakta yang ada, dia tidak yakin presiden serius membenahi kemunduran demokrasi saat ini. Menurutnya, pernyataan Jokowi perlu dilihat seberapa serius dan sungguh-sungguh ketika mengeluarkan suatu kebijakan.
“Karena kalau Jokowi serius, maka kepolisian akan mematuhi perintahnya. Karena polisi di bawah presiden. Jadi tidak alasan untuk tidak mematuhi perintahnya,” kata dia.
Dia menegaskan, kasus yang terjadi di Desa Wadas ini tidak bisa dipisahkan dari konteks kebijakan rezim Jokowi secara umum. Jokowi juga menyampaikan secara langsung bahwa fokus utamanya dalam pemerintahannya adalah pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur ini secara umum dilakukan dengan konsisten oleh Jokowi dari periode pertama sampai sekarang periode kedua.
Masalahnya adalah, kebijakan pembangunan yang dilakukan Jokowi dalam teori politik itu menganut suatu ideologi developmentalisme yang cukup sempit atau merujuk pada masa Orde Baru. Pembangunan yang terlalu memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi dan lebih spesifik lagi adalah pembangunan infrastruktur yang abai terhadap aspeku lain, seperti kebebasan sipil, lalu isu lain seperti hak asasi manusia (HAM) dan kelestarian lingkungan.
Secara umum, dalam upaya untuk menjalankan ideologi developmentalisme yang fokus pada pembangunan infrastruktur ini kemudian akan melahirkan berbagai kebijakan yang bermasalah. Konsekuensi dari cara ideologi seperti itu hanya akan memunculkan perusakan lingkungan menjadi minoritas yang dikesampingkan. Mereka hanya mementingkan pembangunan itu berlangsung.
Oleh karena itu, menurut Wijayanto, apabila Jokowi memang mau mendengarkan suara rakyat seperti janjinya dulu, maka seharusnya sudah saatnya menghentikan kebijakan-kebijakan pembangunan yang bermasalah dan melakukan refleksi serta lebih mendengarkan suara publik.
“Bukan malah merepresi mereka yang memiliki suara berbeda dan kritis terhadap kebijakan pemerintah,” tegasnya. (her/din)