Jakarta (pilar.id) – Dalam peluncuran buku dan Seminar ‘Kehampaan Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024’ yang diadakan secara hibrid di Universitas Paramadina, Jumat (14/7/2023), Prof. Ward Berenschot mengungkapkan bahwa warga negara Indonesia memiliki beragam hak yang harus dilindungi. Termasuk hak terkait tanah.
Untuk itu ia menegaskan bahwa perusahaan harus meminta persetujuan warga sebelum menggunakan tanah mereka.
Dalam risetnya Ward menemukan bahwa warga masyarakat sulit mendapatkan hak-hak mereka. Perlindungan terhadap kepentingan warga desa menjadi tidak efektif.
“Perusahaan juga harus memperoleh izin dan mematuhi aturan yang ada. Dalam banyak kasus, komunitas warga memiliki hak atas skema bagi hasil, seperti skema inti plasma atau kemitraan. Selain itu, warga juga memiliki hak untuk mengorganisasi diri dan menyampaikan protes,” papar Ward.
Lebih lanjut, ia juga menyebutkan bahwa masalah utama adalah realisasi hak-hak tersebut. Istilah ‘kehampaan hak’ merujuk pada adanya hak secara resmi, tetapi hak tersebut tidak terwujud dengan baik. Dalam protes-protes yang dilakukan oleh warga, sering terjadi kriminalisasi dan represi.
Salah satu sumber dari kehampaan hak adalah terbatasnya hak atas tanah karena pengakuan hak individual yang terbatas atas ‘warisan kolonial’ yang muncul pada domein verklaring 1870.
Hingga saat ini, masih banyak lahan yang dikuasai oleh perusahaan, dan warga sulit mendapatkan hak-hak mereka akibat warisan kolonial tersebut.
“Perlindungan hukum yang tersedia menjadi lemah karena adanya aturan-aturan tingkat bawah yang diterapkan, atau yang disebut dengan backdooring of the law. Perlindungan ini juga dilemahkan oleh kolusi antara bisnis dan negara. Kolusi tersebut menyebabkan aparat pemerintah cenderung berpihak kepada perusahaan dengan melanggar undang-undang yang melindungi hak-hak warga,” terang Ward.
Kompensasi atas tanah
Sementara Afrizal, dosen Universitas Andalas, salah satu nara sumber dalam forum ini menyebutkan bahwa buku ini bermula dari kasus di mana warga Desa Olak-Olak dan sembilan desa lainnya di Kalimantan Barat menuntut PT Sintang Raya (Kelapa Sawit) untuk membayar kompensasi atas tanah mereka yang diambil dan meminta pengembalian sebagian tanah tersebut.
“Buku ini juga mengupas perkara tersebut dan 150 kasus konflik lahan antara warga dan perusahaan kelapa sawit. Konflik kelapa sawit adalah masalah yang mendesak dan harus segera diselesaikan, bukan hanya bagi masyarakat pedesaan, tetapi juga pemerintah dan perusahaan kelapa sawit. Konflik ini juga memberikan peluang untuk mengeksplorasi karakter kewarganegaraan dan hak warga negara di Indonesia,” jelasnya.
Lalu Wijayanto, seorang dosen dari Universitas Diponegoro/LP3ES, menyatakan bahwa hak adalah konsep yang masih asing bagi warga negara di Indonesia.
Menurutnya, dalam kurikulum Pendidikan Orde Baru, warga negara yang baik didefinisikan berdasarkan kesediaannya untuk melaksanakan kewajiban kepada negara, yang sempitnya diartikan sebagai kepatuhan kepada pemimpin.
“Pemilu adalah prosedur demokrasi untuk membahas sejauh mana pemenuhan hak-hak warga negara telah tercapai. Demokrasi yang substansial pada dasarnya berkaitan dengan sejauh mana hak-hak warga negara telah terpenuhi,” ungkapnya.
Bvitri Susanti, seorang akademisi dari STIH Jentera, menjelaskan bahwa buku yang ditulis oleh Ward Berenschot dan tim merupakan buku pertama yang membahas masalah kehampaan hak warga negara terkait dengan tanah yang dirampas oleh perusahaan kelapa sawit.
“Masalahnya terkait dengan relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara pemerintah kolonial dan pribumi. Setelah kemerdekaan, relasi buruk tersebut tidak pernah diperbaiki. Pemerintah kolonial digantikan oleh oligarki,” kata Bvitri.
Menurutnya, relasi tersebut berkaitan dengan reproduksi masalah. “Jika pada masa kolonialisme terjadi relasi yang tidak seimbang, sekarang relasinya adalah antara korporasi dan pemerintah. Pemerintah seharusnya menjadi mediator dalam relasi yang tidak seimbang tersebut. Namun, aparat pemerintah hanya menjalankan fungsi administratif belaka tanpa menghormati hak-hak warga dan HAM. Masalahnya terletak pada reproduksi relasi yang tidak setara tersebut,” jelasnya.
Problem terkait tanah saat ini terjadi karena keterkaitan dengan hukum kolonial. Negara-negara eks kolonial rata-rata tidak membongkar hukum kolonial karena menguntungkan bagi mereka yang berkuasa.
“Masalah ini juga terjadi pada Haris Azhar dan Fatia. Pola hukum lama kembali digunakan. Ini menunjukkan bahwa setelah lebih dari 70 tahun merdeka, tidak ada yang berubah. Yang berbeda adalah munculnya pemain baru, yaitu civil society. Mereka tidak hanya mengganggu oligarki, tetapi juga berusaha menyebarkan pemahaman hukum kritis terkait hak-hak warga,” jelasnya.
Menurut Bvitri, jika relasi kekuasaan ini tidak dibongkar, maka tidak akan ada penyelesaian konflik, termasuk konflik agraria. Meskipun konflik agraria menjadi masalah utama, masih ada masalah lain yang perlu diatasi.
Handi Risza, seorang dosen dari Universitas Paramadina, setuju dengan temuan yang diungkapkan oleh Ward. Ia menyebut bahwa buku tersebut memberikan gambaran tentang betapa tidak berdayanya masyarakat dalam menghadapi kelompok pengusaha yang sudah berkolaborasi dengan penguasa. Ia menekankan pentingnya memperkuat temuan-temuan tersebut dan menjadikannya pengetahuan publik. Ia juga menantang calon pemimpin negara untuk mengembalikan hak-hak rakyat, terutama hak ulayat di daerah yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.
Dengan peluncuran buku ini, diharapkan kesadaran akan kehampaan hak warga negara terkait tanah dan peran oligarki dalam masalah tersebut semakin meningkat. (hdl)