Jakarta (pilar.id) – Universitas Paramadina bekerja sama dengan Institut Harkat Negeri menggelar diskusi publik bertajuk “Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly”, Rabu, 17 April 2025. Acara ini berlangsung di Kampus Universitas Paramadina Kuningan, Jakarta, dan menjadi ruang refleksi kritis terhadap kinerja awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Kinerja Pemerintah dan Struktur Kekuasaan
Wakil Rektor Paramadina, Handi Risza Idris, menilai enam bulan pertama adalah fase krusial yang menentukan arah pemerintahan ke depan. Ia menyoroti tantangan besar dalam menyelaraskan harapan publik dengan warisan kebijakan dari pemerintahan sebelumnya.
Sementara itu, Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, menekankan pentingnya kepemimpinan yang egaliter. Menurutnya, Indonesia tergolong negara dengan Power Distance Index (PDI) tinggi, sejajar dengan India dan Filipina. Ini menyebabkan pengambilan kebijakan lebih bersifat top-down dan minim partisipasi publik.
“Negara dengan PDI tinggi rentan terhadap nepotisme dan pengambilan keputusan tertutup,” ujar Sudirman. Ia menambahkan bahwa pengurangan jarak kekuasaan adalah kunci membentuk pemerintahan yang adil dan demokratis.
Kritik Penegakan Hukum
Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, memberikan kritik tajam terhadap penegakan hukum, terutama terkait korupsi yang dinilainya semakin kompleks dan menggurita. Ia menyoroti lemahnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi, termasuk dalam kasus “Pagar Laut” dan korupsi di sektor peradilan.
“Kasus pagar laut menunjukkan adanya pemalsuan ratusan sertifikat tanah, tapi hanya satu lurah dari 16 kelurahan yang jadi tersangka,” ungkap Mahfud. Ia menilai proses hukum banyak menyasar pelaku kecil, sementara aktor besar justru bebas.
Mahfud juga menyinggung kasus besar seperti skandal korupsi di Pertamina senilai hampir Rp 930 triliun, yang mandek karena dugaan keterlibatan mafia minyak. Ia menegaskan bahwa komitmen Presiden harus disertai tindakan nyata, bukan hanya retorika.
Kebebasan Pers Terancam
Direktur Tempo Media Group, Budi Setyarso, menilai tantangan terhadap kebebasan pers tidak hanya terjadi dalam enam bulan pemerintahan Prabowo, tetapi sudah berlangsung cukup lama. Ia mengingatkan kembali peristiwa pembredelan media seperti yang terjadi pada 1974 dan 1994.
“Tanpa pers yang bebas, tidak akan ada pemerintahan yang baik,” tegas Budi. Ia menyoroti menyempitnya ruang publik untuk kritik, serta tekanan terhadap media dan oposisi sejak munculnya isu Taliban KPK pada 2019.
Budi menekankan bahwa redaksi media harus tetap independen dalam mengambil arah editorial, meskipun menghadapi tekanan ekonomi maupun politik.
Ekonomi Hadapi Tekanan Serius
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti tantangan ekonomi Indonesia yang signifikan. Ia mencatat bahwa pada kuartal pertama 2025, terjadi penurunan kinerja fiskal sebesar 16,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap 78 persen mata uang dunia dalam satu bulan terakhir menjadi sinyal bahwa kondisi ekonomi perlu diwaspadai. Ia juga menyoroti fenomena deindustrialisasi dini dan meningkatnya ketergantungan terhadap sektor finansial (financialization), yang membuat struktur ekonomi menjadi rapuh.
“Jumlah PHK meningkat, sementara pinjaman online melonjak. Tapi nilai tukar rupiah justru melemah saat Lebaran,” jelasnya.
Wijayanto juga mengingatkan bahwa tekanan ekonomi global, seperti dampak kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump dan dinamika geopolitik, turut memperberat kondisi domestik. Ia menyerukan pentingnya konsolidasi kebijakan ekonomi yang integratif dan responsif. (mad/hdl)