Surabaya (pilar.id) – Universitas Airlangga terus mengabdikan diri pada masyarakat dengan mewujudkan tri dharma perguruan tinggi melalui penelitian dan pengabdian yang bermanfaat bagi masyarakat. Salah satu prestasi terbaru adalah upaya lima mahasiswa Psikologi Unair dalam menangani permasalahan pernikahan dini pada remaja. Mereka adalah Maulia Gitawati, Salwa Humairo, Rheinsasi Kirana, Safira Anisa Dewi, dan Siska Novita Gozali.
Maulia Gitawati dan timnya berhasil mendapatkan pendanaan melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diinisiasi oleh Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemenristek).
Mereka mengambil langkah ini sebagai respons atas permasalahan pernikahan dini yang masih sering terjadi di Indonesia dan berdampak besar pada kesejahteraan mental anak-anak yang belum siap menikah di usia dini.
Menurut Gita, salah satu anggota tim, gagasan mereka berasal dari keprihatinan melihat tingginya angka pernikahan dini di lingkungan pondok pesantren.
Angka ini sebagian besar disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan kurangnya bimbingan kepada anak-anak, terutama dari lingkungan sekitar. Selain itu, lingkungan tersebut juga memengaruhi pola pikir anak-anak dalam hal pernikahan dini.
Selain minimnya edukasi, pernikahan dini juga sering terjadi karena kurangnya motivasi anak-anak untuk melanjutkan pendidikan mereka, yang pada akhirnya meningkatkan angka pernikahan dini. Ini merupakan permasalahan yang memprihatinkan karena anak-anak muda adalah masa depan bangsa.
Dalam penelitian mereka, tim mahasiswa Psikologi ini akan berfokus pada pondok pesantren Darussalam yang terletak di Torjun, Sampang. Mereka menganggap bahwa daerah ini masih kurang memahami dampak negatif dari pernikahan dini.
Gita menjelaskan bahwa mereka akan menggunakan pendekatan intervensi kultural yang dikenal sebagai “Bhuppa Bhabu Ghuru Rato”. Konsep ini telah ada dalam budaya Madura sejak lama dan mengharuskan generasi muda untuk menghormati generasi lebih tua.
Budaya Madura menekankan ketaatan pada tiga kelompok utama, yaitu orang tua, guru atau ulama, dan pemimpin formal (rato).
Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk memberikan edukasi kepada orang tua dan ulama, agar masyarakat Madura dapat lebih mematuhi norma-norma sosial dan mengurangi pernikahan dini di lingkungan pondok pesantren.
“Kami sangat bersyukur bahwa gagasan kami telah diterima dengan baik oleh masyarakat Madura. Kami berharap bahwa inisiatif ini dapat berlanjut hingga ke PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) dan berkelanjutan dalam penanganan pernikahan dini di masa mendatang,” ungkap Gita. (ipl/ted)