Jakarta (pilar.id) – Analis politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin menilai, gagasan atau skenario penundaan pemilihan umum (pemilu), aneh tapi nyata. Aneh karena tanggal pemilu sudah ditetapkan, bahkan hari pencoblosan pemilu serentak sudah diumumkan KPU yaitu 14 Februari 2024.
Menurut dia, para ketua umum partai mendapatkan tekanan politik dan psikologis, sehingga berkata dengan nada yang sama, yakni pemilu 2024 harus ditunda. Gagasan penundaan pemilu sangat terstruktur, seolah ada dirigen yang mengaturnya.
“Jadi itu bukan tuk menjerumuskan Jokowi, tapi ada design yang sengaja dimunculkan tuk melihat respons publik. Itu design yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM),” kata Ujang, Selasa (1/3/2022).
Alasan dia menyebut gagasan penundaan pemilu TSM bukan tanpa sebab. Pertama-tama dimulai dari adanya lembaga survei yang mendukung, lalu ada ketua umum partai yang bersuara, dan terdapat organisasi masyarakat (ormas) yang juga ikutan mendukung penundaan pemilu. Itu, menurut Ujang, menjadi aneh.
“Gagasan penundaan pemilu menjadi nyata karena dilakukan dengan cara membegal konstitusi dengan mengamendemennya,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini, dengan tegas tidak setuju jika pemilu ditunda. Karena mandat rakyat kepada Jokowi sebagai presiden hanya sampai Oktober 2024 dan mandat rakyat yang diberikan kepada Jokowi adalah melalui pemilu.
Apabila sekelompok elit politik ingin melanggengkan kekuasaan dan memperpanjang masa jabatan presiden, maka rakyat berhak untuk menolaknya dan melengserkan Jokowi.
Dia juga menegaskan, tidak ada alasan presiden mengeluarkan dekret atau ketetapan terkait penundaan pemilu. Jika presiden keluarkan dekret untuk menambah dan melanggengkan kekuasaan, maka siap-siap saja rakyat yang akan menjatuhkannya.
“Siap-siap saja rakyat menjatuhan sang presiden tersebut,” ucapnya. (her/hdl)