Jakarta (pilar.id) – Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 mengalami penurunan secara drastis. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di tahun 2022 jeblok hingga mencapai angka 34 poin.
Indeks Persepsi Korupsi tahun 2022 tersebut mengalami penurunan 4 poin jika dibandingkan dengan tahun 2021 yang berada di angka 38.
Jebloknya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia ini juga membuat Indonesia melorot ke posisi 110 dari 180 negara. Padahal, pada 2021 peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada di posisi 96.
Menanggapi hal itu, Direktur Advokasi Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Nina Zainab mengatakan melorotnya IPK Indonesia pada tahun 2022 harus menjadi catatan serius bagi semua pihak.
Terutama sebagai bahan melakukan evaluasi total atas pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Ini terjadi regresi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Nina di Jakarta, Jumat (3/2/2023).
Dia berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan langkah konkret dan serius untuk membenahi IPK Indonesia. Menurutnya, IPK ini akan berdampak secara linier di bidang lainnya seperti ekonomi dan penyelenggaraan pemerintahan yang good governance.
“Presiden harus memberi atensi serius atas jebloknya IPK Indonesia. Ini sinyal tidak baik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Nina.
Nina menyebutkan, ragam upaya yang dilakukan pemerintah terkait pemberantasan korupsi terbukti tidak efektif. Sebab, saat ini praktik korupsi telah mengalami komodifikasi yang semakin rumit. Sehingga, dibutuhkan kesungguhan dalam pemberantasan korupsi.
“Praktik korupsi semakin rapi dan makin susah diungkap. Ekstremnya ada budaya permisif atas praktik korupsi. Karena itu dibutuhkan keseriusan dalam memberantas korupsi,” ucap Nina.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengklaim turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia bukan disebabkan oleh penegakan hukum yang lemah. Mahfud merasa bahwa penurunan ini disebabkan oleh permainan bawah meja dalam izin usaha.
“Orang sudah punya izin di satu tempat lalu diberikan izin ke orang lain. Sehingga, masalahnya masalah birokrasi perizinan dan kolusi dalam pengurusan birokrasi perizinan itu,” kata Mahfud. (ach/fat)