Jakarta (pilar.id) – Dosen Paramadina Sekolah Pascasarjana Diplomasi, Khoirul Umam mengatakan, Indonesia harus mengantisipasi perluasan konflik antara Rusia dan Ukraina, agar ancaman instabilitas ini tidak berpindah ke kawasan Asia Tenggara.
Ada sejumlah kekuatan besar yang sedang berusaha mengonsolidasikan kekuatan Amerika Serikat dengan NATO-nya di kawasan Indo-Pasifik. Upaya konsolidasi kekuatan itu salah satunya ditandai oleh hadirnya deklarasi pakta pertahanan Australia, United Kingdom dan United States of America (AUKUS) pada September 2021 lalu.
Telah menjadi rahasia umum, pakta pertahanan AUKUS ini dihadirkan sebagai upaya perimbangan kekuatan (balance of power) terhadap China yang semakin mengokohkan pengaruh dan kekuatan ekonomi-politik serta pertahanannya di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik secara general.
Perang Rusia dan Ukraina kali ini harus menjadi wake-up call bagi semua pihak untuk benar-benar mampu menjalankan kerja diplomasi dan komunikasi politik publik di kawasan secara optimal. “Jangan sampai Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menjadi ajang medan pertempuran dan adu pelanduk di antara dua kekuatan besar di kawasan,” kata Khoirul, Selasa (1/3/2022).
Maka dari itu, kata Khoirul, perlu komitmen semua negara di kawasan harus terus ditegakkan, untuk menghadirkan kerja-kerja diplomasi dan komunikasi politik yang jujur, transparan, dan akuntabel. Begitupun proses diplomasi dan komunikasi politik publik harus benar-benar diletakkan dalam koritor relasi bilateral maupun multilateral yang kontruktif dan tidak bias kepentingan.
Di sisi lain, upaya penguatan terhadap sistem demokrasi yang mengahdirkan model checking and balancing benar-benar harus terus dijalankan secara simultan, agar output kepemimpinan politik tidak dibelokkan oleh ego kekuasaan.
“Di sinilah, teori perdamaian demokrasi yang meyakini bahwa perdamaian kawasan akan lebih mudah dicapai ketika masing-masing negara menjalankan sistem demokrasi yang sehat dan transparan, akan kembali menemukan justifikasi dan relevansinya dalam konteks teori maupun praktik hubungan internasional,” tegasnya.
Dari segi anatomi konflik, terdapat tiga faktor utama yang patut diantisipasi bersama. Pertama, pentingnya mengelola fungsi diplomasi dan komunikasi politik, dalam konteks bilateral maupun multilateral antar-negara, utamanya dalam konteks relasi yang telah memiliki akar sejarah konflik masa lalu yang panjang.
Kedua, lebih berhati-hati agar tidak terjebak dalam bias kalkulasi kepentingan strategis. Dalam konteks ini, kejernihan menimbang dan mengkalkulasikan strategi pencapaian kepentingan nasional, sangat ditentukan oleh kompleksitas aktor yang terlibat.
Artinya, tingginya kepercayaan diri Ukraina dalam menghadapi Rusia tentu tidak lepas dari ekosistem kekuatan yang mengelilinginya, khususnya keterlibatan NATO dan juga Amerika Serikat sendiri yang menjanjikan aliansi dukungan pertahanan yang kuat sebagai back up kekuatan.
Ketiga, pentingnya mengelola ego kekuasaan yang dimainkan oleh elit politik, pemerintahan, atau negara. “Dalam konteks ini, konflik yang selanjutnya tersulut menjadi perang terbuka seringkali tidak lepas dari hadirnya sosok pemimpin yang meledak-ledak, tidak mudah diterka, memiliki ego yang tinggi, serta kadang menikmati hadirnya atmosfer ketegangan hingga perang,” pungkasnya. (her/hdl)