Surabaya (pilar.id) – Sejarah panjang Kota Surabaya menyuguhkan banyak cerita. Di antaranya kawasan perdagangan yang selalu ramai, Bubutan. Nama ini adalah penyederhanaan dari kawasan administratif bernama Kecamatan Bubutan.
Di tempat ini kita akan bertemu banyak toko yang siap menyediakan berbagai produk, mulai dari fashion, makanan dan minuman, bahkan mesin. Jika dilihat lebih luas, Bubutan memiliki ikatan kuat dengan kawasan di sekitarnya.
Seperti Praban, Blauran, Jl Raden Saleh, Pasar Turi, hingga Baliwerti. Jika disatukan, jadilah sentra perdagangan yang laju peredaran uangnya konon tak pernah berhenti.
“Sebelum krisis moneter tahun 1990-an, kawasan ini malah jadi rebutan pengusaha yang ingin buka toko. Siapapun yang bikin toko di sini, hidupnya bakal senang,” kata Ahmad Taufik, 68 tahun, warga Tembok Lor, Surabaya.
Setelah puluhan tahun mengelola toko di Bubutan, kini ia memilih istirahat di rumah. Membiarkan anak dan menantunya mengurus toko. “Ya sudah tua, waktunya istirahat dan berdoa di rumah,” katanya sambil tersenyum.
Ya, waktu yang bergerak, membawa Ahmad Taufik dan Bubutan berjalan memasuki fase-fase baru. Jika dulu Bubutan tumbuh sebagai sentra perdagangan dengan bangunan-bangunan sederhana, kini suasananya memang berbeda. Beberapa bangunan tumbuh menjulang di Bubutan.
Sungguh berbeda dengan ratusan tahun sebelumnya, saat Bubutan, tepatnya Kampung Bubutan, dikenal sebagai salah satu aset Kadipaten Surabaya di abad pertengahan. Meski masih jadi perdebatan, beberapa orang percaya jika nama Bubutan berasal dari kata ‘butotan’ yang berarti pintu gerbang dari sebuah keraton. Bisa jadi, karena alasan ini pula di Bubutan terdapat nama-nama seperti Gang Maspati, Keraton, Kepatihan, Temenggungan, dan Alun-Alun Contong.
Hingga masa kolonial Belanda berkuasa, Kampung Bubutan bersanding dengan Kampung Kawatan dan kampung Maspati. Di situlah legenda itu tumbuh. Kisah tentang kawasan pemukiman, perkantoran, hingga sentra perdagangan yang strategis di Surabaya.
Kini, suasana kampung tua Bubutan hanya nampak kuat di beberapa titik, seperti Bubutan Gang 1 hingga VI. Hingga bangunan-bangunan bersejarah seperti Museum Resolusi Jihad dan Kantor PCNU Kota Surabaya di Jalan Bubutan Gg. VI No.1, Surabaya.
Tak jauh dari bangunan ini, ada pula beberapa yang berdiri utuh, selebihnya mulai terkikis zaman. Bangunan peninggalan Belanda itu memiliki ciri-ciri khusus. Seperti bangunannya yang kokoh menjulang, pilar di bagian depan, kusen jendela dan pintu yang tinggi, hingga temboknya yang tebal. Katanya, ini cara arsitek Eropa bersiasat dengan iklim di Indonesia.
Apapun, Bubutan terus tumbuh dengan caranya. Sesekali berhenti, lalu kembali melaju untuk menghidupi banyak orang. “Tidak tahu juga ya, tempat ini bertahan sampai kapan. Sudah ada mall. Kampungnya amblas. Tapi ya semoga bisa bertahan,” harap Ahmad Taufik lirih. (hdl)