Sulit membayangkan, apa yang terjadi saat Tsar Alexander II mendengar kabar pemberontakan yang terus merajalela. Sebelumnya, pemimpin tertinggi Rusia ini sudah menggagas pembebasan para petani dari keterikatan terhadap tanah dan pengurangan kekuasaan yang dimiliki oleh tuan tanah.
Ia juga mendukung penghapusan perbudakan di seluruh Kekaisaran Rusia, pembentukan badan legislatif baru (Duma), modernisasi militer dan pendidikan, dan reformasi hukum.
Reformis Rusia yang berkuasa dari 1855 hingga 1881 ini dikenal serius meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi rakyat. Meski di sisi lain, ia juga dikenal sebagai penguasa yang keras dan otoriter.
Berbagai konflik dan pemberontakan dihadapi. Seperti Perang Krimea, Pemberontakan Januari di Polandia, dan Pemberontakan Nihilis di Rusia. Dan tak hanya itu, ia juga kerap menjadi target pembunuhan musuh-musuhnya.
Lalu terdengar kabar, 13 Maret 1881, ia dibunuh kelompok revolusioner Narodnaya Volya. Dinding beku kekaisaran pun terasa semakin pilu. Untuk beberapa saat keluarga kerajaan dan rakyat pemujanya melupakan reformasi-reformasi Alexander II. Reformasi yang tidak sepenuhnya berhasil, bahkan dicap sebagai upaya terlambat untuk menjaga kekuasaan Dinasti Romanov yang makin terancam.
Gagasan itu terhenti di kematian, yang diiringi air mata dan ratapan yang panjang. Ya, Sang Kaisar telah pergi.
Sosok Alexander II, adalah pemimpin Rusia yang misterius. Hingga kini, sejarah keberadaannya masih menuai kontroversi. Sebagai Tsar atau Czar, sebutan untuk penguasa monarki di Rusia yang berlaku dari abad ke-16 hingga awal abad ke-20, Alexander II seperti berdiri di dua sisi. Sebagai reformis, dan pemimpin otoriter sekaligus.
Sepanjang sejarah monarki Rusia kita mengenal Dinasti Rurik yang memerintah Rusia selama berabad-abad. Yang kemudian digantikan Dinasti Romanov, pengguna gelar Tsar sejak awal abad ke-17. Sejak saat itu pula, Tsar jadi sebutan resmi untuk penguasa Rusia selama berabad-abad.
Penguasa Tsar biasanya memiliki kekuasaan absolut dan dianggap sebagai pemimpin tertinggi dalam hierarki kekuasaan Rusia. Gelar Tsar terakhir dipegang oleh Nicholas II dari Rusia sebelum dinasti Romanov digulingkan pada tahun 1917.
Tiga abad pemerintahan monarki Rusia runtuh, berganti model pemerintahan sesuai permintaan reformasi politik dan sosial yang saat itu terus meningkat. Hingga Revolusi Rusia pada tahun 1917, Rusia pun berubah menjadi negara sosialis dan komunis di bawah kepemimpinan Bolshevik yang dipimpin oleh Vladimir Lenin.
Hari ini, 142 tahun silam, adalah momen penting bagi sejarah Rusia. Kematian Tsar Alexander II yang kemudian berbuntut pergantian kekuasaan itu membuka sejarah, cara, dan harapan-harapan baru.
Perjalanan kekaisaran Rusia terus bergulir hingga Tsar Nicholas II, penguasa terakhir Kekaisaran Rusia yang memerintah dari tahun 1894 hingga 1917.
Ia memiliki pandangan yang konservatif dan otoriter, dan sering kali tidak mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi ketidakpuasan sosial dan politik yang melanda Rusia pada masa pemerintahannya. Ia dan keluarganya akhirnya dibunuh oleh Bolshevik pada tahun 1918 selama Revolusi Oktober.
Spekulasi Anastasia
Tahun 1997, film berjudul Anastasia diluncurkan. Film animasi ini menggunakan voice bintang-bintang besar, seperti John Cusack, Meg Ryan, Christopher Lloyd, Liz Callaway, Jim Cummings, dan Jonathan Dokuchitz.
Film ini berkisah tentang legenda Anastasia Romanov, putri termuda dari Tsar Nicholas II dan Tsarina Alexandra. Berawal dari peristiwa pembantaian keluarga Romanov oleh Bolshevik pada tahun 1918, di mana beberapa orang melaporkan bahwa Anastasia dan saudara-saudaranya masih hidup dan berusaha untuk menyembunyikan identitas mereka dari pemerintah Soviet.
Meski tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa siapa pun dari keluarga Romanov selamat dari pembantaian tersebut, legenda Anastasia tetap hidup dan menjadi populer di kalangan masyarakat.
Film Anastasia mengambil latar belakang sejarah ini dan memperkenalkan karakter fiksi bernama Anya, yang kehilangan ingatannya dan berusaha untuk mencari tahu siapa dirinya sebenarnya, dengan bantuan Dimitri, mantan bangsawan Rusia.
Meskipun film ini memiliki pengambilan kebebasan kreatif dalam ceritanya, ia memberikan pandangan yang menarik tentang sejarah Rusia dan membangkitkan kembali minat publik pada legenda Anastasia.
Tentu, saat film ini diluncurkan, Anastasia menuai sejumlah kritik. Di antaranya keberanian tim produksi dalam membuat spekulasi tentang Anastasia.
Berbeda dengan film lain yang diproduksi dengan kisah terbunuhnya Tsar Alexander II, seperti Assassination of Tsar Alexander II yang disutradarai oleh Soviet filmmaker, Grigori Aleksandrov, pada tahun 1938.
Film ini menggambarkan upaya untuk membunuh Tsar Alexander II oleh Narodnaya Volya, sebuah organisasi revolusioner Rusia pada akhir abad ke-19. Film ini menampilkan aktris terkenal, Tatiana Okunevskaya, sebagai seorang pejuang revolusioner yang terlibat dalam plot pembunuhan tersebut.
Juga sulit untuk idsandingkan dengan The Assassination of the Tsar (1991) yang disutradarai Karen Shakhnazarov, dan The Tsar’s Last Costume (2012) yang disutradarai oleh Dmitriy Meskhiev.
“Film-film yang didasarkan pada sejarah seringkali memiliki dramatisasi dan pengambilan kebebasan kreatif untuk memperkuat aspek-aspek tertentu dari kisah atau untuk membangun dramanya yang lebih kuat,” tulis seorang kritikus film saat itu.
Meskipun film-film tersebut mungkin mengandung unsur-unsur sejarah yang akurat, mereka tidak dapat dianggap sebagai sumber yang sepenuhnya dapat diandalkan untuk mendapatkan informasi tentang peristiwa sejarah tersebut.
Sehingga keberadaan Anastasia, Assassination of Tsar Alexander II, The Assassination of the Tsar, dan The Tsar’s Last Costume, akhirnya didudukkan sebagai hiburan visual bertema sejarah semata. Bukan niat baik untuk menggali sejarah dengan sungguh-sungguh.
Artinya, sejarah Tsar Alexander II, bahkan Tsar Nicholas II, tetap menjadi ingatan multi tafsir yang terus berkembang tanpa kepastian. Dan bisa jadi, mereka tidak menganggap ini sebagai sebuah masalah besar.
Apalagi masyarakat dunia kerap punya logika sendiri, bahwa catatan tentang otoritarianisme selalu sah untuk dilupakan. Karena sejarah tak pernah butuh wacana ekstra tentang pemimpin otoriter. Baik dalam catatan sejarah, atau yang muncul di jagad sinema. **