Malang (pilar.id) – Empat remaja berjalan cepat menuju aula di sisi belakang Kelenteng Eng An Kiong. Mereka mengenakan kostum yang didominasi warna kuning dan merah, lengkap dengan ornamen Cina klasik.
Di aula Kelenteng Eng An Kiong, belasan remaja sudah menunggu. Sebagian duduk membenahi aksesoris untuk pelengkap kostum, ada juga yang menyiapkan alat musik, termasuk tambur gendang barongsai berdiameter 50 centimeter.
Ya, siang itu, 14 remaja ini hendak berangkat dari Kelenteng Eng An Kiong ke sebuah hotel bintang empat di Jalan Ahmad Yani Utara, Blimbing, Malang. Rencananya mereka akan memainkan seni barongsai di depan pengunjung hotel.
“Persiapannya sudah, latihan rutin juga sudah. Ini sudah mau berangkat,” kata salah satu dari mereka.
Di depan kelenteng, mobil pickup ternyata sudah menunggu. Mereka pun mulai memindah peralatan barongsai ke atas mobil. Termasuk kepala naga dan aksesoris barongsai lainnya.
Jelang Imlek tahun ini, mereka mesti memenuhi panggilan di beberapa tempat di Kota Malang. Maklum, tim barongsai ini di bawah naungan langsung Kelenteng Tridharma Eng An Kiong, tempat ibadah tertua di Kota Malang.
Sumber pilar.id di tempat ini mengatakan, Eng An Kiong adalah kelenteng yang berdiri pada 1825. Puluhan tahun kemudian, tepatnya 1895, pembangunan dilanjutkan dengan pendirian gedung baru sebagai pelengkap rumah ibadah. Kemudian pembangunan juga kembali dilakukan pada 1934.
Sebagai salah satu bangunan tertua di Kota Malang, Kelenteng Tridharma Eng An Kiong juga tercatat sebagai bangunan cagar budaya Kota Malang. Keberadaanya di kawasan Kotalama Malang begitu gampang mencuri perhatian. Karena warnanya yang merah, juga strukur bangunannya yang terjaga dan kokoh hingga sekarang.
Bangunan di Jalan Laksamana Martadinata ini didirikan oleh Kwee Sam Hway. Penggunaan nama Eng An Kiong selaras dengan harapan, bahwa bangunan ini akan menjadi istana keselamatan dalam keabadian Tuhan. Selain itu juga kuil persembahan pada Dewa Bumi.
Setiap hari, rumah ibadah warga Khonghucu, Budha, dan Taoisme ini selalu ramai pengunjung. Selain melihat bangunan bersejarah, pengunjung yang berdatangan dari luar kota itu juga ingin bersembahyang sekaligus menikmati kuliner khas Kota Malang.
Kelenteng Eng An Kiong berhias arsitektur khas Cina klasik yang banyak menggunakan warna merah-kuning, dan hiasan naga. Hiasan ini dikenal sebagai simbol keperkasaan. Sementara warna merah adalah representasi arti kehidupan, keberanian, dan kebahagian. Dan warna kuning, dikenal sebagai keagungan.
Klenteng Eng An Kiong memiliki sebuah patung yang paling disucikan, yakni Patung Fu Tek Cen Sen atau Dewa Bumi. Cerita tetua umat di tempat ini, patung ini didatangkan langsung dari Tiongkok lewat jalur laut.
Setelah hampir tiga bulan perjalanan, kapal itu sampai di Malang dengan selamat, lalu diletakkan di Jalan Martadinata, Kota Malang. Sebagai ucapan terima kasih, warga kerap bersembahyang di depan patung. Ritual ini kemudian diikuti masyarakat sekitar.
Tempat ini pun tumbuh jadi kuil kecil, sehingga mendapat kiriman patung-patung lain dari Tiongkok. Akhirnya, saat jumlah umat makin banyak, dibangunlah beberapa altar untuk para dewa ini. Kini, Klenteng Eng An Kiong memiliki 18 altar dan 28 patung dewa dan dewi. (hdl)