Jakarta (pilar.id) – Ketua Kelompok DPD di MPR M Syukur mengatakan, selama ini kedudukan DPD yang diatur dalam UU MD3 belum mencerminkan adanya kewenangan lembaga DPD yang kuat, efektif, dan optimal untuk menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya.
Sehingga, ketika ada pembicaraan soal pemisahan UU MD3 dengan Ketua MPR, Kelompok DPD menyambut wacana tersebut dengan mendorong adanya suatu pembahasan lebih lanjut.
Ia berharap adanya wacana Pemisahan UU MD3 bisa menjadi peluang DPD untuk mendorong penguatan kewenangan DPD melalui pengaturan undang undang tersendiri. Namun, menurutnya penguatan itu akan mengalami tantangan tersendiri selama DPD belum diberikan kewenangan lebih jauh dalam menyusun UU. Apalagi, ranah pembahasan dan pengambilan keputusan sebuah RUU masih diserahkan kepada DPR.
“Oleh karena itu, memang wacana pemisahan UU MD3 perlu dikaji lebih serius, untuk mencari celah di mananya DPD bisa diperkuat kewenangannya,” ujar Syukur, Minggu (2/4/2023).
Menurut Syukur, Kelompok DPD sebenarnya tidak mempunyai kewenangan untuk membahas pemisahan UU MD3 karena ini merupakan ranah Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU). “Karena kami sudah beberapa kali berkomunikasi dengan Ketua MPR membahas tentang pemisahan UU MD3, maka kami berinisiatif membantu PPUU untuk ikut terlibat pendalaman terhadap wacana tersebut,” kata Syukur.
Sementara itu, guru besar administrasi publik Universitas Indonesia (UI) Irfan Ridwan Maksum mengatakan jika semua lembaga terutama DPR memiliki pandangan yang sama perlunya penguatan kewenangan DPD yang tetap dalam koridor NKRI tanpa dipisah pengaturannya mungkin dapat diwujudkan. Namun, seringkali terjadi perbedaan pendapat lebih besar antara DPR dan DPD ketika bersama-sama memikirkan kamar DPD, sehingga akan sulit tercapainya titik temu.
Menurutnya, DPD bisa memperkuat kewenangannya di level organisasi melalui revisi UU terkait kedudukan DPD. “Perbaikan ini jangan sampai keliru ke bawah, DPD semakin jauh dari aspirasi Daerah Otonom. sebaliknya juga keliru ke atas dengan menjadikan selayaknya Senat Negara Bagian,” kata Irfan.
Irfan menambahkan, pemisahan UU memiliki kelemahan soal muatan yang diatur bisa saja tidak sinkron dengan materi kedudukan dan proses kameralisme lembaga legislatif. Selain itu, merevisi UU menjadi terpisah atau tidak tanpa melalui Amandemen UUD Pasal 22 D dengan menggeser menjadi bikameral akan membuka peluang terjadinya judicial review.
Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Prof Djohermansyah Djohan mengatakan, jika penguatan kewenangan DPD ditempuh melalui pembentukan UU tersendiri, maka yang perlu diatur adalah keterlibatan penuh DPD dalam semua tahapan pembicaraan tingkat I. Kemudian, perlu juga mengatur posisi suara DPD dalam Voting berimbang dengan seluruh Fraksi di DPR dengan perbandingan 50:50.
“Menambah jumlah anggota DPD tahun 2024 menjadi 152 anggota dari 38 provinsi,” sambung Djohermansyah.
Prof Djoe, sapaan akrab Djohermansyah, juga menekankan perlunya penguatan leadership pimpinan DPD. Hal itu dapat dilakukan dengan memperbaiki persyaratan dalam pemilihan pimpinan, paling tidak telah menjadi anggota DPD selama dua kali berturut turut.
“Mendapatkan suara terbanyak di dapilnya. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Berpengalaman dalam penyelenggaraan pemda. Masa jabatan pimpinan DPD 5 tahun. Wapres menjadi Senator ex-officio dengan peran sebagai penghubung (liaison officer) antara DPD-pemerintah,” kata Prof Djoe .
Pendapat lain diutarakan oleh guru besar hukum tata negara UI Satya Arinanto yang mengatakan, selama ini kinerja DPD meliputi soal pengajuan RUU, pengajuan pandangan, dan pendapat, pengajuan pertimbangan, serta pengajuan hasil pengawasan telah disampaikan ke DPR. Namun laporan tersebut tidak ada tindak lanjutnya untuk melibatkan DPD dalam proses pengajuan, pembahasan, dan pertimbangan RUU.
Menurut Satya, jika diperlukan adanya pemisahan UU MD3, para anggota DPD juga harus mempertimbangkan aspek lain seperti perspektif sejarah. Berdasarkan rumusan pasal-pasal terkait MPR, DPR, dan DPD dalam UUD 1945. Karena, permasalahan optimalisasi kewenangan tidak terletak pada soal pengaturan dalam satu UU atau dalam UU yang terpisah, tetapi terkait dengan pembatasan-pembatasan kewenangan masing-masing lembaga negara tersebut dalam UUD 1945.
“Yang terpenting adalah tentang detail tidaknya pengaturan tentang kewenangan masing-masing lembaga tersebut dalam UU, baik dalam satu UU maupun dalam UU yang terpisah,” kata Satya
Pengamat hukum tata negara Feri Amsari mengatakan adanya keinginan memperkuat kewenangan DPD melalui pemisahan UU MPR, DPR, dan DPD bisa menjadi pertanyaan. “Sebenarnya DPD itu membutuhkan penguatan kewenangan atau pemisahan UU? Kalau membutuhkan penguatan kewenangan, menurut saya tidak perlu melalui pemisahan UU,” kata Feri.
Ia menambahkan adanya pemisahan UU malah akan memperlemah posisi DPD karena nantinya DPR yang akan membahas dan memegang pengambilan keputusan terhadap UU yang mengatur DPD. “Apakah DPR mau ngasih penguatan kewenangan DPD yang lebih kuat. Saya yakin DPR tidak mau, bahkan bisa saja DPR akan memperlemah posisi DPD,” jelas Feri.
Menurut Feri, selama ini DPD selalu berkutat pada meminta kewenangan. Padahal, kata Feri, ada cara lain yang bisa dilakukan, para anggota DPD bisa menjadi corong bagi masyarakat di daerah ketika terjadi masalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Pada saat itu, anggota DPD harus bersuara kencang membela masyarakat.
“DPD harus memanfaatkan tampilan politisnya, itu jauh lebih penting sebagai preferensi masyarakat,” saran Feri.
Feri menilai, selama ini kelemahan DPD tidak adanya peran yang seimbang dengan DPR karena disebabkan adanya kewenangan yang lemah. Kemudian, komposisi jumlah anggotanya yang sedikit, dan ruang politik yang tidak diberikan secara maksimal untuk memperkuat kewenangan DPD.
“Maka tugas DPD yang perlu difokuskan saat ini membangun gagasan bagaimana DPD menjadi kekuatan lembaga legislatif yang lebih kuat dan lebih baik,” kata Feri.
Mantan anggota DPD, Adrianus Garu berpendapat, persetujuannya terhadap pemisahan UU MD3 dikarenakan selama ini DPD tidak bisa melakukan kerja-kerja yang bisa dieksekusi ke daerah. Karena itu, dengan adanya pemisahan UU MD3 diharapkan bisa mengatur kewenangan DPD yang bisa menyelesaikan persoalan-persoalan di daerah.
Meski demikian, ia juga sependapat dengan narasumber lain yang menginginkan DPD lebih dekat dengan daerah otonom karena itu merupakan ruang lingkup kewenangannya. Dengan begitu, DPD bisa memposisikan sebagai bagian dari kepentingan dari daerah otonom tersebut.
“DPD bisa memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk memperkuat bargainingnya sebagai lembaga yang benar-benar membawa dan membela kepentingan aspirasi daerah,” kata Adrianus. (ach/din)