Jakarta (pilar.id) – Perempuan Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mencapai kesetaraan gender di berbagai sektor meski kemajuan signifikan telah dicapai. Sistem sosial dan ekonomi yang diskriminatif sering menjadi penghalang utama.
Dalam Webinar Series-3 bertajuk Perempuan dan Kepemimpinan yang digelar The Lead Institute Universitas Paramadina, para ahli membahas berbagai isu, mulai dari kebijakan yang belum mendukung peran perempuan hingga kritik terhadap program makan gratis yang dianggap tidak efektif.
Dr. phil. Suratno Muchoeri, Ketua The Lead Institute, menyoroti empat aspek penting dalam memperjuangkan keadilan gender: akses kuasa, partisipasi, kontrol kekuasaan, dan manfaat sosial.
Menurutnya, meski akses perempuan ke kepemimpinan telah meningkat, kualitas partisipasi mereka perlu ditingkatkan, termasuk di bidang politik, teknologi, dan kesehatan.
“Kuota 30 persen di parlemen belum cukup. Kepemimpinan perempuan harus hadir di berbagai sektor strategis,” tegas Suratno.
Kontribusi Perempuan dalam Kepemimpinan Diversifikatif
Prof. Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, menambahkan bahwa keberadaan perempuan di posisi strategis menciptakan keseimbangan dalam pengambilan keputusan.
“Perempuan membawa perspektif yang lebih teliti dan sering kali lebih efektif dalam organisasi yang membutuhkan perhatian detail,” katanya.
Aktivis perempuan Dr. phil. Dewi Candraningrum menyoroti kurangnya pengakuan terhadap pekerjaan domestik dan perawatan yang mayoritas dilakukan perempuan. Sistem ekonomi neoliberal tidak menghargai kerja-kerja ini, padahal mereka esensial bagi keberlangsungan masyarakat.
Ia juga mengkritik lambannya pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang dapat memberikan perlindungan dan insentif kepada jutaan perempuan di sektor ini.
“Negara-negara maju memberikan insentif seperti cuti melahirkan berbayar dan tunjangan anak. Pemerintah perlu berinvestasi dalam kerja domestik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Kritik atas Program Makan Gratis
Dr. Dewi mengkritisi program makan gratis yang dicanangkan pemerintah. “Istilah ‘gratis’ ini problematis. Kenapa tidak memberdayakan ibu-ibu lokal untuk memasak di sekolah? Ini solusi yang memberdayakan dan lebih ramah lingkungan,” ujarnya.
Program berbasis tender, menurutnya, sering membawa dampak negatif seperti penggunaan plastik berlebih.
Donna Louisa Latief, pengusaha perempuan, menyoroti tantangan beban ganda yang dihadapi perempuan. Mereka harus membuktikan diri di dunia profesional sembari mengemban tanggung jawab domestik.
Sementara itu, Renata Bulan Siagian, Konsul-Jenderal RI di Hamburg, mengingatkan pentingnya solidaritas perempuan.
“Perempuan harus saling mendukung untuk membuka jalan bagi generasi berikutnya,” ungkap Renata, yang berharap akan lebih banyak perempuan yang memasuki dunia diplomasi.
Investasi dalam pekerjaan perawatan, kebijakan fleksibel, dan akses sumber daya bagi perempuan di sektor pertanian serta perikanan menjadi kunci menciptakan lapangan kerja tanpa meningkatkan emisi karbon. “Kepemimpinan perempuan adalah kunci inklusivitas di masa depan,” tutup Dr. Dewi. (hdl)