Jakarta (pilar.id) – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggagas gelaran muktamar internasional fikih peradaban bertajuk Fiqhul Hadlarah I, 6 Februari 2023 mendatang. Muktamar ini menjadi rangkaian terakhir dari sembilan klaster kegiatan, sebelum puncak Resepsi Satu Abad NU di Sidoarjo.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf saat menghadiri gala dinner bersama beberapa diplomat negara-negara Islam dan negara sahabat di Jakarta, Kamis (15/12/2022) malam.
“Ini istilah tak dikenal di dunia Islam. Tapi ini istilah yg banyak digunakan umat Islam di Indonesia dan NU untuk menunjuk pada wacana keagamaan di berbagai masalah yang berkembang di masyarakat,” jelasnya.
Dijelaskan Gus Yahya, hingga saat ini dunia masih dibayangi konflik identitas dan agama, atau konflik yang mengatasnamakan agama.
Konflik ini, lanjut dia, memang bukan baru terjadi tapi sudah sangat lama. Padahal, dunia sudah memiliki sebuah kesepakatan besar yakni Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.
Sayangnya, kata Gus Yahya, hal-hal yang sebetulnya sudah disepakati secara internasional itu tidak serta-merta dapat diterapkan secara domestik oleh negara-negara anggota PBB.
“Dinamika percaturan di antara aktor-aktor global pun tidak secara konsisten mengarah kepada pemapanan dan penguatan kesepakatan-kesepakatan tersebut,” terangnya.
Dengan kata lain, kata Gus Yahya, visi dari Piagam PBB dan Organisasi PBB adalah sesuatu yang masih harus diperjuangkan oleh mereka yang sungguh-sungguh setuju dan percaya.
Ia mencontohkan, masih afa kelompok-kelompok muslim yang terlibat konflik, termasuk mereka yang menggunakan kekerasan hingga teror, untuk mempertahankan posisi mereka dengan mengajukan rujukan-rujukan di dalam turats fiqhiyyah.
Hingga satu abad lalu, konflik dan peperangan atas nama agama, masih dianggap sebagai sesuatu hal yang normal.
“Ini bukan sesuatu yang eksklusif menyangkut Islam saja. Pihak-pihak di luar Islam pun pada umumnya meneguhi pola sikap dan tindakan yang didasarkan pada anggapan bahwa perlawanan atas nama agama terhadap pihak lain adalah tuntutan moral,” kata Gus Yahya.
Oleh karena itu, dalam muktamar nanti peserta akan meminta fatwa atas status legal Piagam PBB itu.
“Sejauh mana keabsahan Piagam PBB dan Organisasi PBB, dengan mempertimbangkan alasan, proses dan mekanisme serta tujuan kelahirannya, sebagai perjanjian atau ‘ahd yang mengikat umat Islam atas dasar keabsahan pihak-pihak, baik negara-negara dan para kepala negara, yang mengklaim posisi sebagai wakil-wakil mereka (umat Islam) pada saat menyepakatinya,” jelas Gus Yahya.
Para ulama dan ahli fikih, lanjutnya, perlu memberikan jawaban atas satu pertanyaan mendasar itu. Oleh karena itu, menurut Gus Yahya, gagasan muktamar internasional fikih itu merupakan bagian dari ikhtiar NU untuk berkontribusi dalam perdamaian dunia internasional.
“Ini awalan dari inisiatif strategis yang diusung NU dalam membangun peradaban,” ujar Gus Yahya.
Disampaikan, muktamar ini nanti akan dihadiri sejumlah ahli fikih dunia dan tokoh muslim internasional seperti Syaikh Dr. Ahmad Al-Thayib (grand Syaikh Al Azhar, Mesir), dan Syaikh Abdullah bin Mahfudh Ibn-Bayyah (Majelis Hukana Al amuslimin, UAE).
Selain itu juga Al Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al Jufri (Direktur El Taba Institute, UAE), Eslam Sa’ad (Peneliti Islam Kontemporer,. Mesir), Dr. Syafiq Ibrahim Allam (Grand Mufti, Mesir), dan Prof. Koutoub Moustapha Kano (Sekjen Council of Islamic Fiqh Afrika).
Dari Indonesia, mereka yang akan hadir menjadi pembicara adalah Prof Dr. KH Quraish Shihab, KH Miftachul Akhyar (Rais Aam PBNU), KH Ma’ruf Amin (wakil presiden), KH Afifuddin Muhajir (Wakil Rais Aam PBNU), dan KH Ahmad Mustofa Bisri (mustasyar PBNU). (hdl)