Tanah Datar (pilar.id) – Masjid Raya Rao-Rao yang berlokasi di Nagari Rao-Rao, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, merupakan salah satu masjid bersejarah di Indonesia.
Mengutip data di Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, masjid ini dibangun pada 1908 dan selesai pada 1916. Masjid ini menjadi bukti kejayaan arsitektur Islam di Sumatera Barat dengan pengaruh budaya Minangkabau, Eropa, dan Timur Tengah.
Masjid ini berdiri di atas lahan seluas 16 x 16 meter dengan atap bersusun tiga dan menara segi empat yang beratap gonjong.
Desain atap tersebut melambangkan empat suku utama di Nagari Rao-Rao, yaitu Petapang Koto Anyer, Bendang Mandahiliang, Bodi Caniago, dan Koto Piliang.
Sentuhan budaya yang beragam terlihat jelas dalam desain bangunan masjid. Elemen Minangkabau tercermin dari atap gonjong yang khas, sementara tiang-tiang megah serta desain keramik lantai menunjukkan pengaruh Eropa.
Sementara itu, ornamen hias pada dinding luar dan pagar masjid mencerminkan unsur arsitektur Timur Tengah. Menariknya, keramik lantai masjid dipesan khusus dari Italia, memperlihatkan kemewahan bangunan ini pada masanya.
Sejarah Pembangunan
Dikutip dari Masjid Kuno Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1999, pembangunan masjid ini dipelopori oleh Abdurrahman Datuk Marajo Indo, tokoh yang disegani tidak hanya oleh warga setempat tetapi juga kolonial.
Sebagai tokoh adat sekaligus tokoh agama, ia selalu membakar semangat warga menentang dan mengusir penjajah dari Nagari Rao-Rao.
Catatan lain, pembangunan masjid ini dimulai saat masjid tertua pertama di Nagari Rao-rao, Masjid Baukia Baatok Ijuak, kondisinya sudah tidak bisa dipergunakan sehingga masyarakat mulai mencari tempat untuk masjid baru.
Lewat musyawarah, Rawang Sikabun akhirnya disepakati sebagai lokasi yang tepat untuk mendirikan masjid. Tanah ini merupakan milik Puti Reno Lila, Haji Adam, dan Haji Mohamad Thaib.
Dalam catatan sejarah, nama Haji Mohamad Thaib juga dikenal seagai salah satu pendiri Kuala Lumpur. Di tahun 1904, ia mewakafkan tanahnya dan tahun 1905 dicanangkan lokasi yang cocok untuk mendirikan masjid.
Bangunan Masjid Raya Rao-Rao terletak seperti di celah tebing terbuat dari dinding tembok tebal, berdenah bujur sangkar. Atap masjid bersusun tiga terbuat dari seng dan di atasnya terdapat menara berbentuk segi empat beratap gonjong empat.
Sementara di sisi timur menara terdapat kaligrafi lailahaillallah, di utara dan selatan ada kaligrafi haiyyaalas sholah dan hayyaalal falah.
Menara kubah yang lain terdapat di atas serambi depan berbentuk segi delapan dengan atap seng dan kerucut di bagian atas.
Soko Guru jumlah Niniak Mamak
Lokasi pembangunan masjid ditetapkan pada 1892, dan pembangunan dimulai pada 1908 dengan peletakan empat tiang utama yang dikenal sebagai Soko Guru, yang melambangkan jumlah Niniak Mamak di Nagari Rao-Rao.
Masjid ini awalnya dibangun tanpa menggunakan semen, melainkan campuran kapur karena pada masa itu semen hanya diperuntukkan bagi proyek pembangunan Belanda dan Pelabuhan Teluk Bayur.
Pada 1925, ulama besar Syekh Abdul Karim Amrullah, ayah dari Buya Hamka, mengunjungi masjid ini untuk mengadakan tabligh akbar.
Namun, pada 1926, gempa Padang Panjang menyebabkan kerusakan pada masjid, termasuk retakan di dinding dan kemiringan pada menara. Renovasi besar dilakukan pada 1970 untuk memperbaiki struktur bangunan yang terdampak.
Keunikan Masjid Rao-Rao
Masjid ini memiliki 13 jendela yang melambangkan 13 rukun salat serta enam pintu yang merepresentasikan enam masa penciptaan alam.
Mihrab masjid dihiasi dengan pecahan kaca dari keramik keluarga Haji Mutahhib yang rusak akibat gempa 1926, menjadikannya ornamen unik dengan makna tersendiri. Selain itu, terdapat dua tiang mihrab yang melambangkan keseimbangan antara adat dan ajaran Islam.
Di sekitar masjid, terdapat sekolah yang didirikan pada pertengahan 1920-an atas prakarsa Haji Pakiah Salih dan Haji Ja’far Abdullah. Sekolah ini dikenal dengan nama Diniyyah dan berfungsi sebagai pusat pendidikan Islam bagi generasi muda.
Cagar Budaya dan Destinasi Wisata Religi
Masjid Raya Rao-Rao telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya di Kabupaten Tanah Datar. Selain menjadi tempat ibadah, masjid ini juga menjadi destinasi wisata religi yang menarik bagi pelancong dari dalam dan luar negeri.
Beberapa masjid lain di Sumatera Barat, seperti Masjid Sa’adah Gurun dan Masjid Raya Koto Baru, didesain mengikuti arsitektur Masjid Rao-Rao, menandakan pengaruhnya yang besar dalam perkembangan arsitektur masjid di wilayah ini.
Dengan dukungan masyarakat dalam pelestarian, Masjid Raya Rao-Rao diharapkan tetap kokoh dan terus menjadi saksi sejarah perkembangan Islam serta warisan budaya Minangkabau di Indonesia. (usm/hdl)