Jakarta (pilar.id) – Ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta menggeruduk gedung DPR RI, Jakarta Selatan, Selasa (28/6/2022) sekira pukul 15.00 WIB. Mereka memaksa bertemu dengan Ketua DPR RI Puan Maharani untuk menyampaikan aspirasinya dan menolak untuk ditemui yang lain.
“Jangan sampai undang undang yang dibentuk hari ini adalah undang undang yang mencerminkan proses yang ugal-ugalan, seperti Undang Undang Omnibus Cipta Kerja,” kata Ketua BEM Universitas Indonesia (UI) Bayu Satria Utomo, di Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Ada dua tuntutan yang mereka usung, yaitu pertama pemerintah dan DPR RI membuka kembali draft Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Tuntutan berikutnya membahas kembali pasal-pasal bermasalah.
Mereka mengkritisi DPR dan pemerintah yang membahas RUU KUHP dengan sembunyi-sembunyi. Hal itu mencerminkan proses pemerintahan yang tidak baik dan cacat secara formil materiil.
“Kami ingin pembahasan RUU KUHP itu dibuka kepada publik dan melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luasnya,” kata dia.
Terkait dengan pasal bermasalah ada dua yaitu, 273 yang mengatur tentang unjuk rasa dan demonstrasi. Pasal ini sangat mengganggu masyarakat yang ingin bersuara di muka umum. Pasal 273 memberikan sanksi pidana bagi demonstran yang dinyatakan mengganggu kepetingan umum.
Kepentingan umum dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara detail.
Sanksi pidana, lanjut Bayu, sebagai bentuk pengkerdilan demokrasi dan pengkhianatan reformasi.
“Yang kemudian kita melihat ini sanksinya pidana, sedangkan kita melihat jika kita mengacu pada semangat reformasi, sanksinya hanyalah dibubarkan,” kata dia.
Kemudian pasal berikutnya 354 terkait penghinaan terhadap lembaga negara, serta penyerangan harkat dan martabat presiden. Karena Indonesia merupakan negara demokrasi, maka kritik adalah suplemennya.
“Kritik dibatasi, kritik dianggap penghinaan,tentu ini akan mengkebiri deokrasi kita,” tandasnya. (ach/fat)