Jakarta (pilar.id) – Genap 24 tahun Indonesia memperingati reformasi sejak didengungkan pada 21 Mei 1998 silam. Kala itu, rakyat Indonesia tidak hanya menuntut Presiden Soeharto mundur dari tampuk kekuasaan setelah menjabat sebagai orang nomor wahid di Indonesia selama 32 tahun.
Berbagai tuntutan mulai dari amandemen UUD 45, membatasi masa jabatan presiden selama 2 periode, otonomi daerah, penghapusan dwi fungsi ABRI, menghapus korupsi kolusi dan nepotisme (KKN), hingga janji menegakkan supremasi hukum turut mewarnai kerusuhan kala itu.
Pertanyaannya adalah selama 24 tahun ini apakah bangsa Indonesia telah mencapai apa yang dicita-citaan oleh agenda reformasi?
Pakar kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat MPP mengatakan, setidaknya ada kabar baik dan buruk terkait capaian 24 tahun reformasi. Berita baiknya adalah reformasi telah mengantarkan Indonesia kepada suatu sistem kehidupan politik dan pergantian kepemimpinannya yang tidak berdarah-darah.
Indonesia bisa menikmati pesta demokrasi setiap 5 tahun tanpa kekerasan yang berarti. Bahkan, sejak tahun 1999 hingga 2019 penyelenggaraan pemilu relatif damai. Indonesia memilih pemimpinnya secara langsung mulai dari tingkat Rukun Tetangga (RT) sampai kepada presiden.
“Sungguh Indonesia adalah negara demokrasi terbesar yang ada di dunia,” kata Achmad, di Jakarta, Selasa (24/5/2022).
Menurut Achmad, negara-negara di Amerika Serikat (AS) dan Eropa sebagai tempat demokrasi berasal pun kalah dengan Indonesia. AS sendiri tidak memilih presidennya secara langsung melainkan sistem distrik. “Tidak ada di dunia ini, demokrasi diterapkan sampai ke level RT yang ada di kampung-kampung terkecil dari masyarakat Indonesia,” kata dia.
Kabar buruknya sepanjang 24 tahun ini, kebebasan berpendapat semakin dikekang dan kesejahteraan semakin terpuruk. Hal itu diperparah dengan pelemahan struktural atas komitmen pemberantasan korupsi.
Secara ekonomi bila dibandingkan zaman orde baru (orba), masa reformasi ini tidak disertai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bila di zaman orba, ekonomi tumbuh secara rerata di level 7 persen.
“Sedangkan masa reformasi 2000-2022 pertumbuhan ekonomi rerata hanya di level 4,8 persen. Jauh tertinggal,” kata Achmad.
Dilihat dari PDB perkapita, lanjut Achmad, di zaman orba (1971-1998) justru meningkat tajam dari Rp5.074.517 (1966) naik menjadi Rp18.943.101 (1998) atau meningkat secara tahunan 12 persen. Sedangkan PDB perkapita sejak reformasi bergulir (1997-2022), dari Rp6,8 juta (2000) menjadi Rp62,2 juta (2021) atau hanya meningkat Rp55,4 juta dalam 21 tahun, dengan rata-rata pertumbuhannya 8,55 persen.
“Terpuruknya kesejahteraan juga terlihat dari data ketimpangan lahan dan ketimpangan ekonomi gini rasio,” lanjutnya.
Pada September 2021, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh gini rasio adalah sebesar 0,381. Bandingkan tahun 1996 (akhir orde baru) gini rasio lebih rendah atau lebih merata pengeluaran penduduk yaitu 0.36.
“Ini menunjukkan reformasi hanya memperparah ketimpangan ekonomi masyarakat,” tegas Achmad.
Laporan Credit Suisse 2021 menyebut, ketimpangan ekonomi Indonesia memburuk, bahkan 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Laporan yang dikeluarkan oleh Survei Lembaga Keuangan Swiss itu juga menyebutkan 5 negara dengan ketimpangan terburuk, Indonesia menempati urutan ke-4 setelah Rusia (74,5%), India 58,4 persen, Thailand 58 persen, dan Indonesia 49,3 persen.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 2021 mencatat, 68 persen tanah di seluruh daratan Indonesia telah dikuasai oleh satu persen kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar. Sisanya 32 persen tanah dibagi kepada 99 persen penduduk.
Terpuruknya kesejahteraaan bangsa Indonesia, telah menyebabkan reformasi 24 tahun tidak memperbaiki kondisi bangsa Indonesia. Perintis reformasi menginginkan berakhirnya zaman orba berarti berakhir juga masa keterpurukan ekonomi dan terkekangnya kebebasan. Namun yang terjadi reformasi tidak membawa Indonesia kepada alam kebebasan dan kesejahteraan.
“Kebebasan merosot setidaknya dalam 7 tahun terakhir 2014-2021, publik merasakan bahwa kebebasan berpendapat mereka dihambat,” ungkap Achmad.
Berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), kebebasan berpendapat turun nilainya dari 70,22 (2018) menjadi 58,82 (2020). Penurunan indikator kebebasan berpendapat terjadi pada variabel ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah.
Selain itu, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) sebesar 38/100 tahun 2021 berada di level lebih tinggi daripada zaman orba yang tercatat sebesar 27/100. Menurut Achmad, kalau di zaman orba, korupsinya hanya dilevel elit saja. Tapi saat ini, di era reformasi korupsinya berlaku hingga ke level terkecil, seperti lurah.
Lebih jauh, Achmad mengatakan, reformasi dititipkan kepada trias politika yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tetapi yang terjadi adalah legislatif dan eksekutif malah melakukan suatu kompromi atau ‘perselingkuhan politik’ yang tidak sejalan dengan agenda reformasi.
“Keduanya saling tidak kritis yang akhirnya menambah kekuasaan bagi para oligarki,” kata dia.
Eksekutif dan legislatif bukannya membuka pintu kebebasan sebesar-besarnya untuk rakyat malah diperlihatkan kalangan DPR dan pemerintah bersekutu meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Yang paling mencolok adalah akhir-akhir ini di awal tahun 2022, harga-harga merangkak naik.
Hal itu menunjukkan, kemampuan negara dalam mengatasi persoalan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat semakin menurun. Sementara DPR tidak kritis dan pemerintah terjebak utang yang menggunung, tepatnya mencapai Rp7,098 triliun di 2022.
Reformasi tahun 98 hingga 2022 menghasilkan satu kondisi, seluruh kehidupan bangsa Indonesia baik itu ekonomi, politik, sosial dan budaya dikuasai oleh oligarki. Dengan kata lain reformasi ini tidak sedang baik-baik saja.
Dari seluruh data-data tersebut, Achmad meyimpulkan, 24 tahun reformasi 1998-2022 telah salah jalan. Cita-cita bangsa Indonesia yang ingin menghimpun kebebasan dan kesejahteraan dalam satu ekosistem terlihat masih jauh dari harapan.
“Bila cita-cita reformasi terlihat suram saat ini, adakah alasan untuk melanjutkan reformasi selanjutnya?. Lalu, mau dibawa kemana reformasi ini?” kata Achmad. (ach/fat)