Jakarta (pilar.id) – Ini pengakuan Elon Musk, pemilik Twitter. Katanya, ia tidak selalu memiliki jawaban untuk semua masalah yang ada di Twitter. Termasuk memoderasi pernyataan, sikap, dan cuitan yang bermunculan di platform media sosial ini.
Sebelumnya, Twitter bersama jejaring sosial yang lain, telah berjuang habis-habisan untuk mengawasi konten ofensif seperti ujaran kebencian, pelecehan, dan misinformasi, yang mengancam ekosistem jagad maya, termasuk di Indonesia.
Saat itu Twitter langsung berhadapan dengan sebagian penggunanya, kelompok progresif dan pendukung hak-hak sipil, yang mengatakan jika platform ini tidak memiliki keberanian untuk menindak posting ofensif. Sebaliknya kelompok konservatif menyebut Twitter terlalu serius menegakkan sensor.
Sekarang, Elon Musk, orang terkaya di dunia itu, terperangkap dalam ruang perdebatan. Anggapa saja, ini konsekuensi bagi dirinya setelah membeli Twitter 44 miliar Dollar AS.
Yang jelas, secara personal, dia menginginkan moderasi konten yang lebih longgar untuk platform. Dan sudah barang tentu, ini akan jadi perubahan besar pada ruang politik dan berpendapat masyarakat, baik yang ada di dalam atau luar platform.
Musk beberapa kali menggambarkan dirinya sebagai pendukung kebebasan berbicara yang absolut. Image ini bahkan ia munculkan saat berbicara pada TED Talk, Kanada, bahwa Twitter harus memberi tahu pengguna ketika ada konten yang dipromosikan dan diturunkan di situs. Kebebasan berpendapat, menurutnya, berarti seseorang diperbolehkan mengatakan sesuatu di Twitter yang tidak disukai orang lain.
“Saya tidak mengatakan saya memiliki semua jawaban di sini, tetapi saya pikir kami ingin sangat enggan untuk menghapus sesuatu dan sangat berhati-hati dengan larangan permanen,” kata Musk. “Time-out menurut saya lebih baik,” tegas dia.
Seminggu sebelumnya, Musk mentweet, ‘Kebijakan platform media sosial akan terasa baik jika 10 persen kelompok ekstrem kiri dan kanan sama-sama tidak bahagia’.
Menanggapi rencana itu, Emma Llansó dari Center for Democracy and Technology mengatakan, menghapus ucapan hanyalah bagian dari moderasi konten. Sementara meninggalkan pelecehan atau ujaran kebencian dapat memiliki efek mengerikan, di mana pengguna, terutama minoritas dan wanita, merasa tidak nyaman berbicara di Twitter, kata
“Setiap keputusan seperti ini berakhir dengan pengorbanan,” kata Llansó. “Di sinilah sebenarnya, meluangkan waktu untuk memikirkan dengan sangat hati-hati dan memahami konsekuensi yang diinginkan dan tidak diinginkan dari sebuah langkah besar, akan menjadi sangat penting,” tambahnya. (hdl)