Jakarta (pilar.id) – Belum lama ini, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) resmi meluncurkan holding subholding PT PLN (Persero). Dengan pembentukan holding subholding ini, PLN mempunyai 4 subholding yang diyakini akan membawa perusahaan menjadi semakin kokoh, kuat, dan cekatan dalam pengembangan usaha.
Keempat subholding tersebut adalah PLN Energi Primer Indonesia, PLN Nusantara Power (Generation Company 1), PLN Indonesia Power (Generation Company 2), dan PLN ICON Plus. Mantan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Prof Mukhtasor berpandangan, holding sub-holding di PLN tidak diperlukan karena hal itu justru akan menempatkan manajemen, termasuk para direski, dalam posisi yang sulit.
Ketika berbicara mengenai penataan BUMN, menurut Mukhtasor, yang perlu diperhatikan adalah tujuan di balik itu. Jika diperhatikan, sebelum membuat holding sub-holding, saat itu menteri menyampaikan bahwa tujuannya adalah untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas,
“Kalau alasan transparansi dan akuntabilitas, solusinya bukan IPO. Contohnya, Garuda sudah IPO. Tetapi apakah kemudian menjadi lebih baik? Justru kasus-kasus semakin banyak terjadi setelah Garuda melakukan IPO,” kata Mukhtasor, di Jakarta, Jumat (30/9/2022).
Akademisi Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini menjelaskan, IPO membuka ruang bagi masuknya swasta. Kalau porsi pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) menjadi lebih dominan, maka artinya bukan lagi dikuasasi negara.
Akhirnya akan berbahaya bagi kedaulatan energi. Mukhtasor kemudian mengingatkan dengan kejadian di Sumatera, IPP mendikte PLN kalau tidak sesuai dengan skema bisnisnya, mereka tidak mau menyalakan pembangkitnya.
“Sekarang ini PLN pasarnya digerus, kemudian hulunya dipaksa membeli dari swasta, sudah begitu jaringan mau dibagi-bagi juga. Lama-lama PLN akan menjadi Garuda kedua. Saya khawatir nasib PLN seperti Garuda. Dulu bandara-bandara isinya Garuda, sekarang kalau nyari Garuda susah,” ungkapnya.
Sementara itu, ekonom Salamuddin Daeng meminta pemerintah sebaiknya mengevaluasi kembali pembentukan holding sub-holding. Mengingat, tugas dan tanggung jawab yang diemban PLN dalam menyelenggarakan ketenagalistrikan merupakan amanat Konstitusi UUD 1945 Pasal 33, melaksanakan UU nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 111/PUU-XIII/2015 yang intinya mengharuskan pelaksanaan ketenagalistrikan secara terintegrasi.
Rencana Kementerian BUMN melakukan holding sub-holding PLN sebagaimana disebutkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2023 merupakan kebijakan perbaikan portofolio dan penguatan struktur keuangan BUMN melalui pembentukan holding strategis, restrukturisasi BUMN, maupun pengurangan proporsi utang terhadap struktur pendanaan (deleveraging).
Namun, perlu dicermati bahwa urusan PLN bukan hanya sehat atau tidaknya keuangan perusahaan tersebut, namun berkaitan dengan hajat hidup orang banyak yang merupakan tanggung jawab negara yang dilaksanakan oleh PLN.
Karena itu, lanjut Salamuddin, kebijakan holding sub-holding PLN haruslah dibicarakan secara lintas sektoral dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dan publik secara luas. Hal ini dikarenakan masih banyaknya problem ketenagalistrikan yang dihadapi masyarakat Indonesia yang harus diselesaikan oleh pemerintah dan oleh PLN selaku operator listrik.
“Kebijakan sub holding yang terburu buru, kejar tayang, dipaksakan dan bahkan tanpa landasan regulasi akan membahayakan masa depan ketenagalistrikan di Indonesia,” tegasnya. (ach/fat)