Jakarta (pilar.id) – Analis Kebijakan Transportasi, Azas Tigor Nainggolan mengatakan, kasus pelecehan seksual di layanan angkutan umum massal atau transportasi publik masih terjadi kepada penggunanya (penumpangnya). Hal ini menunjukan bahwa layanan transportasi publik belum ramah dan nyaman bagi anak-anak dan dewasa.
“Pengguna masih rentan dari kejahatan kekerasan seksual juga pelecehan seksual saat menggunakan layanan transportasi publik,” kata Tigor kepada wartawan, Rabu (6/7/2022).
Menurut Amnesty International bahwa kekerasan seksual termasuk kasus hak asasi manusia (HAM) berat. Kekerasan seksual, terutama pemerkosaan, telah termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat.
Alhasil, tindakan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual harus ditangani secara sistematis terorganisir agar bisa memutus mata rantai dan selanjutnya mencegah terjadinya kembali kejahatan kekerasan seksual.
Kewajiban masyarakat melaporkan pelaku pelecehan seksual diatur secara hukum dalam UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah disahkan pada tanggal 12 April 2022 lalu.
Pasal 52 UU TPKS mengatur: (1) Setiap orang yang mengetahui, melihat, dan/atau menyaksikan peristiwa yang merupakan tindak pidana Kekerasan Seksual wajib melaporkan kepada Pusat Pelayanan Terpadu (TPP) yang dibentuk oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) atau kepolisian. (2) Tenaga kesehatan, psikiater atau psikolog wajib melaporkan kepada PPT apabila menemukan tanda permulaan terjadinya kekerasan seksual.
Berdasarkan Pasal 52 UU TPKS ini pihak PT KAI harus melaporkan kejadian pelecehan seksual yang terjadi dan sudah dilaporkan oleh korban pada petugas PT KAI. “Jika sampai sekarang PT KAI tidak juga melaporkan kejadian pelecehan seksual tersebut maka PT KAI sudah melanggar UU TPKS,” kata dia.
Begitu pula seharusnya pihak kepolisian juga bergerak dan bertindak melakukan pemeriksaan kasus pelecehan seksual di kereta PT KAI. Pihak kepolisian harus langsung bertindak dengan memanggil PT KAI berdasarkan bukti awal, bisa berupa video kejadian yang viral. Kedua instansi, PT KAI dan Kepolisian RI harus segera bertindak melakukan langkah hukum agar tidak melanggar hukum.
Begitu pula langkah maju ke depan adalah pihak pemerintah dalam hal yang terkait dengan perlindungan korban kekerasan seksual di angkutan umum, harus segera mengeluarkan regulasi perlindungan.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan, Kementerian PPPA, Kementerian BUMN, Kepolisian, Masyarakat atau Pakar dan Asosiasi Pengusaha Transportasi Publik serta stakeholder lainnya menyusun langkah kongkrit untuk membangun layanan transportasi publik yang aman nyaman bagi penggunanya agar tidak alami tindakan kekerasan seksual juga pelecehan seksual.
Melalui regulasi ini dilakukan pengawasan layanan transportasi publik yang menjamin penggunanya akan aman dan nyaman.
“Pemenuhan regulasinya juga hingga pada adanya SOP dan strategi layanan juga fasilitas layanan transportasi publik yang dapat dicegah dan tidak terjadi tindakan kekerasan seksual dan pelecehan seksual di layanan transportasi publik,” tegas Tigor. (her/hdl)