Surabaya (pilar.id) – Carbon Capture Storage (CCS) menjadi sorotan utama setelah menjadi perbincangan dalam debat Cawapres pada Jumat, 22 Desember 2023. Profesor Mahfud MD dipertanyakan oleh Gibran Rakabuming Raka mengenai regulasi pembuatan CCS. Dalam konteks ini, peneliti dari Universitas Airlangga (UNAIR) menilai bahwa CCS memerlukan regulasi yang tepat dan strategi yang matang.
Menurut Wahid Dianbudiyanto, seorang Dosen Teknik Lingkungan FST UNAIR, CCS adalah teknologi penting untuk menyerap emisi karbon yang dihasilkan oleh suatu sistem. Dalam penjelasannya, Wahid mengacu pada regulasi dari Kementerian ESDM yang menyatakan bahwa CCS melibatkan serangkaian proses terhubung, mulai dari pemisahan dan penangkapan karbon dioksida hingga pengangkutan dan penyimpanan yang aman.
“Pemisahan dan penangkapan karbon dioksida dilakukan melalui teknologi absorpsi, umumnya diterapkan dalam produksi hidrogen baik di skala laboratorium maupun komersial,” ujar Wahid dalam wawancara pada 1 Januari 2023.
Proses pengangkutan, menurut Wahid, mirip dengan metode pengangkutan gas seperti LPG dan LNG menggunakan pipa atau tanker. Penyimpanan karbon dioksida dapat dilakukan dengan memasukkannya ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan bumi atau diinjeksikan ke dalam laut pada kedalaman tertentu.
Wahid menekankan perlunya langkah pemantauan dan perawatan pada setiap tahap CCS untuk memastikan keamanan dan efektivitas proses. Pada tahap penyimpanan, diperlukan teknologi pemantauan untuk mengawasi kondisi lapisan batuan penyimpanan, termasuk tekanan dan integritasnya.
Selain itu, Wahid menyarankan pemeriksaan berkala terhadap infrastruktur CCS dan perawatan preventif untuk mencegah kebocoran yang dapat menyebabkan pelepasan karbon dioksida. Pada tahap transportasi, pemasangan sensor dan perangkat pemantauan pada tanker pengangkut karbon dioksida, serta pemantauan kondisi secara real-time juga dianggap penting untuk mengidentifikasi potensi kebocoran atau insiden selama transportasi.
Wahid juga melihat potensi CCS dalam mendukung regulasi internasional dan nasional tentang dekarbonisasi, yaitu upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Dia menyebutkan bahwa Indonesia telah memiliki beberapa regulasi yang mendukung dekarbonisasi, termasuk Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
Namun, Wahid memperingatkan bahwa penerapan CCS di Indonesia memerlukan pertimbangan matang. Instrumen yang kuat, pasar target CCS, regulasi, dan stakeholder pelaksana utama, serta kajian mendalam dengan Feasibility Study, dianggapnya sebagai hal-hal yang penting.
Dalam menghadapi hambatan penerapan CCS, Wahid menyatakan perlunya regulasi yang mengatur operasi CCS untuk membentuk kepercayaan bagi investor dan pengembang proyek di Indonesia, serta memberikan keyakinan kepada masyarakat terkait aspek keselamatan dan keamanan operasi.
“Saat ini, Indonesia belum memiliki kerangka hukum dan peraturan yang diperlukan untuk mendukung implementasi CCS. Untuk saat ini, regulasi mengenai CCS masih diadaptasi masuk dalam skema peraturan pemerintah,” jelas Wahid.
Wahid juga menyarankan beberapa strategi dan kebijakan yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan kemampuan dan kesiapannya dalam mengadopsi CCS sebagai salah satu langkah mitigasi perubahan iklim. Beberapa di antaranya melibatkan pembentukan kerangka regulasi, insentif keuangan, kemitraan internasional, pendidikan dan pelatihan, stimulasi riset dan inovasi, perencanaan tata ruang dan zonasi, kampanye kesadaran publik, monitoring dan evaluasi berkelanjutan, serta dukungan pemerintah.
“Dengan mengimplementasikan strategi dan kebijakan ini, diharapkan Indonesia dapat memperkuat kapasitasnya dan meningkatkan kesiapannya dalam mengintegrasikan CCS sebagai bagian integral dari upaya mitigasi perubahan iklim,” ungkapnya. (ipl/hdl)