Jakarta (pilar.id) – Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, meniliai, masalah pada bahan bakar minyak (BBM) subsidi semata-mata bukan karena potensi membengkaknya anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), namun ada masalah distribusi yang tidak tepat sasaran.
“Perbaiki mekanismenya, bukan naikkan harganya. Risiko menaikkan harga BBM subsidi terlalu besar,” kata Piter, Sabtu (27/8/2022).
Di sisi lain, Piter belum melihat keseriusan pemerintah memperbaiki jalur distribusi BBM bersubsidi. Yang terlihat diupayakan pemerintah saat ini justru adalah kemungkinan menaikkan harga jual pada masyarakat.
Selain akan memicu kenaikan inflasi dan menurunkan daya beli masyrakat, menaikkan harga BBM subsidi akan mempertaruhkan reputasi Presiden Joko Widodo.
“Kalau BBM subsidi naik, tidak hanya masyarakat miskin yang dikorbankan, tetapi reputasi Pak Jokowi juga dipertaruhkan. Pak Jokowi harus paham ini,” tegasnya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah mesti menyediakan Rp195,6 triliun tambahan untuk subsidi dan kompensasi BBM. Jadi, outlook subsidi dan kompensasi BBM akan berpotensi menjadi Rp698 triliun.
Belum lama ini, subsidi dan kompensasi BBM membengkak menjadi Rp502,4 triliun. Namun, karena harga minyak, kurs, dan konsumsi yang lebih tinggi, potensi penambahan Rp195,6 triliun tersebut harus disediakan.
“Tidak kita sediakan pada tahun ini, maka akan ditagih pada 2023 APBN kita. Jadi tidak berarti enggak ada. Tagihannya datang tahun depan,” katanya dalam Konferensi Pers Tindak Lanjut Hasil Rakor Kemenko Perekonomian terkait Kebijakan Subsidi BBM, Jakarta, Jumat (26/8/2022).
Potensi penambahan subsidi dan kompensasi tersebut terjadi karena harga minyak mentah Indonesia (ICP) diproyeksi naik dari sebelumnya 100 Dollar AS per barel menjadi 105 Dollar AS per barel. Kemudian, kurs rupiah yang tadinya Rp14.450 per Dollar AS meningkat menjadi Rp14.700 per Dollar AS.
Serta, konsumsi Pertalite yang diproyeksikan meningkat menjadi 29,07 juta kiloliter (kl) dari sebelumnya 23,05 juta kl dan konsumsi Solar yang juga diprediksi meningkat menjadi 17,55 juta kl dari sebelumnya 15,1 juta kl. (her/hdl)