Jakarta (pilar.id) – Pengamat politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga menilai, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tidak perlu diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Paling tidak, ada tiga pertimbangannya. Pertama, pasal penghinaan presiden dalam KUHP sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Karena itu, tentu aneh kalau MK sudah membatalkan tapi dimunculkan kembali.
Padahal, kata Mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta ini, semua anak bangsa tahu kepurusan MK bersifat final. Karena itu, tidak ada alasan apa pun untuk memghidupkan kembali pasal penghinaan presiden.
“Kalau hal itu dilakukan akan muncul ketidakpastian hukum. Hal demikian tentu tidak boleh terjadi di negara hukum,” kata Jamiluddin kepada pilar.id, Rabu (31/8/2022).
Dua, lanjutnya, di banyak negara penghinaan terhadap simbol negara tidak diperbolehkan. Bagi siapa yang menghina simbol negara dapat dipidanakan.
Namun di Indonesia, presiden dan wakil presiden bukanlah simbol negara. Karena itu, tentu tidak relevan bila dimasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Ketiga, negara demokrasi pada umumnya sudah tidak memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Sebab, dalam demokrasi hak setiap warga negara sama di depan hukum.
“Oleh karenanya, bila ada pengaturan khusus penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, maka prinsif sama di depan hukum sudah diabaikan,” ujarnya.
Selain itu, dalam negara demokrasi pengawasan jalannya pemerintah dilakukan oleh rakyat. Pengawasan berupa kritik yang disampaikan rakyat kerap dipersepsi penghinaan oleh presiden atau wakil presiden. Akibatnya, rakyat kerap dipersalahkan sudah melalukan penghinaan.
Jadi, persepsi presiden atau wakil presiden kerap dimenangkan oleh aparat hukum. Akibatnya, persepsi rakyat kerap menjadi salah.
Padahal dalam negara demokrasi, pemiliknya adalah rakyat. Kalau pemilik negara yang kerap dipersalhkan, maka hakekat demokrasi dengan sendiri telah hilang.
“Maka atas tiga pertimbangan tersebut, seharusnya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden ditiadakan di RKUHP. Semua itu demi kepastian hukum dan demokrasi di Indonesia,” tutupnya. (her/din)