Jakarta (pilar.id) – Pengamat Politik Universitas Paramadina, Septa Dinata berpandangan, wacana penundaan pemilu hanya menguntungkan elit politik. Sedangkan rakyat tidak dapat apa-apa. Gagasan ini semakin memperlihatkan bahwa yang dikedepankan oleh elit partai selama ini adalah politik kekuasaan.
Padahal, perpanjangan pemilu tak sesederhana yang dibayangkan. Mestinya semua pihak harus lebih berhati-hati dengan wacana ini karena implikasinya bisa liar. Kekuasaan politik tanpa pemilu akan melahirkan krisis legitimasi. Wibawa negara akan terjun bebas.
Menurutnya, semua pihak harus ingat bahwa Indonesia masih bertahan sampai hari ini bukan hanya karena kapasitas means of power negara, tapi sebagian besar adalah karena imajinasi dan keyakinan. Legitimasi politik yang lemah bisa melahirkan disintegrasi, dan lebih parah lagi adalah bisa terjadi vacuum of power.
“Sebagai negara bangsa, kita masih dalam proses yang sangat prematur. Republik ini bisa bubar jika politisi tak berhati-hati. Jangan lihat ini semua taken for granted,” kata Septa, Sabtu (26/2/2022).
Di sisi lain, partai politik (parpol) yang menggagas ide penundaan pemilu menunjukkan ketidakpastiannya, baik dari sisi ongkos politik ataupun secara kinerja partai. Diketahui, sejauh ini ada dua parpol yang menggaungkan penundaan pemilu, PKB dan PAN.
Untuk PKB, kata Septa, saat ini sedang mengalami persoalan dengan PBNU. Hubungannya tak semesra dulu. Hal ini membuat Cak Imin butuh waktu untuk konsolidasi menyiapkan diri untuk ikut pemilu.
Apa yang terjadi di PKB juga dialami PAN. Partai ini terancam tidak memenuhi ambang batas. Salah satu penyebabnya adalah ketokohan Zulhas sangat sulit untuk mendongkrak elektabilitas partai. Sementara di sisi lain sosok Amien Rais yang melekat dengan PAN malah bikin partai baru.
“Pasti akan sangat berpengaruh terhadap PAN. Makanya Zulkifli Hasan senang sekali dengan ide menunda pemilu,” pungkasnya. (her/din)